Jumat, 12 Desember 2008

Komunikasi Fandi

Antonio Gramsi - seorang revolusioner Italia.

Antonio Gramsci lahir pada tanggal 22 Januari 1891, di kota Ales, pulau Sardinia.

Enam tahun kemudian, ayahnya dicopot dari posisinya sebagai pegawai dan dijebloskan di penjara karena dituduh korupsi, sehingga Antonio bersama ibunya harus perpindah ke kota lain dan hidup mereka menjadi agak sulit. Selama masih anak, dia jatuh dan menjadi cacat, dan seumur hidup dia kurang sehat.

Sewaktu mahasiswa di Cagliari dia menemui golongan buruh dan kelompok sosialis untuk pertama kalinya. Tahun 1911 dia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Turino. Kebetulan sekali Palmiro Togliatti, yang kelak menjadi Sekertaris Jendral Partai Komunis Italia (PCI), mendapatkan beasiswa yang sama. Di Universitas tersebut Gramsci juga berkenalan dengan Angelo Tasca dan sejumlah mahasiswa lainnya yang kemudian berperan besar dalam gerakan sosialis dan komunis di Italia.

Pada tahun 1915 Gramsci mulai bergabung dalam Partai Sosialis Italia (PSI) sekaligus menjadi wartawan. Komentar-komentarnya di koran "Avanti" dibaca oleh masyarakat luas dan sangat berpengaruh. Dia sering tampil berbicara di lingkar-lingkar studi para buruh dengan topik yang beraneka-ragam seperti sastra Perancis, sejarah revolusioner dan karya Karl Marx. Dalam Perang Dunia I, Gramsci tidak seteguh Lenin atau Trotsky dalam melawan perang tersebut, namun pada hakekatnya orientasinya adalah untuk mebelokkan sentimen rakyat ke arah revolusioner.

Aktivis dan intelektual muda ini sangat terkesan oleh Revolusi Rusia tahun 1917. Seuasai Perang Dunia Gramsci ikut mendirikan koran mingguan "Ordine Nuovo" yang memainkan peranan luar biasa dalam perjuangan kelas buruh di kota Torino. Saat itu kaum buruh sedang berjuang secara sangat militan serta membangun dewan-dewan demokratis di pabrik-pabrik. Gramsci beranggapan bahwa dewan-dewan itu memiliki potensi untuk menjada lembaga revolusioner semacam "soviet-soviet" di Rusia.

Sehubungan dengan keterlibatannya dalam gerakan buruh, Gramsci memihak minoritas komunis dalam PSI. Partai Komunis yang muncul waktu itu merupakan pecahan dari PSI, dan Gramsci menjadi anggota Komite Pusat partai tersebut. Selama 18 bulan (tahun 1922-23) dia merantau di Moskow. Tahun 1924 dia terpilih menjadi anggota parlemen.

Pada tanggal 8 Nopember 1926 Gramsci tertangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah fasis Mussolini. Jaksa menegaskan bahwa: "Kita harus menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun." Sejak saat itu selama 10 tahun dia meringkuk di penjara, dengan sangat menderita karena keadaan fisiknya yang kurang sehat. Namun bertentangan dengan harapan si jaksa fasis itu, masa sulit ini akan menjadi kesempatan untuk Gramsci menulis karya Marxis tentang masalah-masalah politik, sejarah dan filsafat yang luar biasa berbobot, dan yang terbit setelah Perang Dunia II dengan judul "Buku-buku Catatan dari Penjara" (Prison Notebooks).

Sayangnya, rumusan-rumusan dalam buku ini terkadang sulit ditafsirkan, karena Gramsci harus memakai bahasa yang tidak langsung, bahkan memakai kata-kata sandi yang dapat diartiakan secara berbeda-beda. Oleh karena itu, buku tersebut pernah diinterpretasikan sebagai karya non-Leninis bahkan anti-Leninis. Pemikiran Gramsci didistorsikan oleh kepemimpinan stalinis dari Partai Komunis untuk membenarkan strategi parlementer mereka, dengan argumentasi bahwa Gramsi mempunyai sebuah strategi yang beranjak dari sudut pandangan kelas buruh dan diktatur proletariat menuju suatu orientasi lebih "kaya" dan lebih "luas". Kemudian argumentasi yang sama digunakan bermacam-macam partai dan kelompok reformis di seluruh dunia, yang suka mempertentangkan Gramsci dengan Lenin. Argumentasi ini adalah salah.

*****

Sudah pada tahun 1918 Gramsci menggambarkan para politisi reformis sebagai "sekawan lalat yang mencari semangkok poding" dan setahun kemudian menegaskan: "kami tetap yakin, negara sosialis tidak bisa terwujud dalam lembaga-lembaga aparatur negara kapitalis … negara sosialis harus merupakan suatu penciptaan baru."

Ini sebabnya dia berpisah dengan Partai Sosialis dan ikut mendirikan Partai Komunis. Meskipun dia masuk parlemen sebagai taktik, pendapat Gramsci ini sama sekali tidak berubah seumur hidupnya.

Tulisannya terakhir sebelum masuk penjara adalah Tesis-tesis untuk konferensi Partai Komunis di Lyons pada tahun 1926. Di sini cukup jelas bahwa Gramsci tetap menganut jalan revolusioner, melalui pemberontakan bersenjata kaum buruh. Dia menganalisis kekalahan kelas buruh dalam perjuangan historis tahun 1919-20, dengan menyatakan bahwa kekalahan tersebut terjadi karena "kaum proletariat tidak berhasil menempatkan diri di kepala insureksi mayoritas masyarakat dalam jumlah yang besar… malah sebaliknya kelas buruh terpengaruhi oleh kelas-kelas sosial lainnya, sehingga kegiatannya terlumpuhkan." Tugas Partai Komunis adalah mengajak kaum buruh untuk "insureksi melawan negara borjuis serta perjuangan untuk diktatur proletariat".

Sudah sejak awal, Gramsci melihat proletariat sebagai faktor kunci dalam revolusi sosialis. Itu sebabnya dia terlibat dalam dewan-dewan pabrik di Torino pada tahun 1919-20. Fokus ini marak pula dalam Tesis-tesis Lyons. Organisasi partai "harus dibangun berdasarkan proses produksi, maka harus berdasarkan tempat kerja", karena partai harus mampu memimpin gerakan massa kelas buruh, "yang disatukan secara alamiah oleh perkembangan sistem kapitalisme sesuai dengan proses produksi." Partai itu harus juga menyambut unsur-unsur dari golongan sosial lainnya, tetapi "kita harus menolak, sebagai kontra-revolusioner, setiap konsep yang membuat partai itu menjadi sebuah 'sintesis' dari pelbagai unsur yang beraneka-ragam".

Tetapi bukankah Gramsci telah mengembangkan sebuah analisis sosial tentang masyarakat kapitalis di barat yang lebih canggih dan halus dibandingkan teori-teori Lenin? Memang begitu. Seperti Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci lebih mengerti seluk-beluk dunia politik dan perjuangan sosial di Eropa Barat, sedangkan Lenin selalu berfokus pada perkembangan-perkembangan di Rusia, sehingga kita dapat banyak belajar dari tulisan-tulisan Gramsci.

*****

Namun kaum Stalinisis dan reformis menjungkirbalikkan hal ini pula. Mereka memusatkan perhatian pada sebuah kiasan yang dilakukan Gramsci antara strategi revolusioner dan militer.

Dalam "Buku-buku Catatan dari Penjara" dia membedakan antara dua macam perang: "perang manuver" yang melibatkan pergerakan maju atau mundur yang cepat; dan "perang posisi", sebuah perjuangan panjang di mana kedua belah pihak bergerak secara pelan-pelan, seperti di dalam parit-parit perlindungan selama Perang Dunia I. Rumusan-rumusan ini diartikan para Stalinis dan reformis sebagai berikut: pemberontakan Oktober 1917 di Rusia adalah perang manuver, yang memang diperlukan dalam kondisi-kondisi primitif di sana; tetapi kondisi-kondisi di Eropa Barat sudah lebih matang dan kompleks, sehingga diperlukan sebuah strategi "perang posisi" -- baca strategi parlementer dan perubahan gradual.

Semua ini omong kosong. Kedua strategi itu bukan bertentangan melainkan komplementer. Di Rusia antara tahun 1905 dan 1917, kaum Bolshevik juga melakukan "perang posisi", dan pendekatan yang sama dianjurkan mereka bagi partai-partai Komunis muda pada tahun 1921, dalam bentuk "front persatuan". Atau jika kita mau mengambil contoh Indonesia, para aktivis demokrasi telah menjalankan sebuah perang posisi selama bertahun-tahun, tetapi begitu krismon meletus dan rezim Suharto mulai bergoyang, mereka harus melakukan intervensi-intervensi radikal, sampai akhirnya kaum mahasiswa menduduki gedung DPR. Dan di barat sebuah "perang posisi" juga dibutuhkan sampai terjadinya krisis revolusioner; tapi begitu krisis itu meledak, kita harus beralih ke "perang manuver".

Rumusan-rumusan Gramsci tentang "perang posisi" bersangkutan dengan teorinya tentang mekanisme-mekanisme kekuasaan ideologis dalam masyarakat kapitalis. Kaum penguasa tidak hanya berkuasa melalui alat-alat represif (polisi, tentara, pengadilan). Sebenarnya alat-alat itu hanya bergerak dalam keadaan luar biasa, seperti kriminalitas, kerusuhan, demonstrasi atau pemberontakan. Sedangkan seorang buruh biasanya masuk tempat kerja saban hari, menurut undang-undang yang ada, bahkan sering menghormati kaum penguasa … kurang-lebih tanpa paksaan langsung. Dia dipaksa oleh kebutuhan ekonomis, tetapi juga menerima ide-ide mendasar dari tatanan sosial yang ada, sehingga mematuhi undang-undangnya secara "sukarela".

Gramsci mengembangkan sebuah analisis yang canggih tentang mekanisme-mekanisme "hegemonis" ini, yang memang lebih halus dan efektif di negeri-negeri maju. Sehingga "perang posisi" bisa saja berjalan selama bertahun-tahun. Tapi ada juga mekanisme-mekanisme hegemonis di Indonesia dan negeri dunia ketiga lainnya; bukankah para aktivis kiri sering mengeluh tentang "kesadaran palsu" massa rakyat Indonesia? Sehingga di sini pula, perbedaan antara negeri-negeri maju dan dunia ketiga bukan sesuatu yang mutlak melainkan relatif saja.

Jaksa fasis yang ingin "menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun" telah gagal. Pemikiran Gramsci masih hidup dan berkembang. Namun pemikiran itu tidak boleh disalahartikan: Antonio Gramsci bukanlah seorang reformis melainkan seorang Marxis revolusioner.

Kembali ke homepage

BERDISKUSI TENTANG HEGEMONI
Gunawan

A. Pengantar

"Tanpa Teori Revolusi Tidak Akan Pernah Ada Gerakan Revolusi"
(Vladimir Illich Ulyanof "Lenin")

SALAH SATU teori politik dari kalangan marxis yang populer dan dijadikan rujukan bagi kaum marxian ataupun bukan, adalah teori tentang hegemoni. Adapun signifikansi teori hegemoni bagi bagi studi hubungan internasional, lebih dikarenakan berbagai aspek peristiwa dan agenda perubahan dalam konteks internasional maupun nation-state adalah akibat dari atau tidak bisa dilepaskan dari dominasi dan hegemoni Kapitalisme Internasional.

Wacana tentang kolonialisme dan dekolonialisme, Marshal Plann dan Developmentalisme, Dependencia dan Imperialisme, kemudian agenda Neo-Liberal tentang pasar global adalah sekian dari contoh yang bisa dibedah melalui teori hegemoni.

B. Sejarah Munculnya Teori Hegemoni

LATAR BELAKANG

politik, gagasan hegemoni tersebut adalah pengalaman Gramsci sendiri. Fokus perhatian Gramsci pada hal tersebut muncul dari situasi politik ketika ia hidup dan menjadi pemimpin intelektual dari gerakan massa proletar - di Turin - selama Perang Dunia Pertama dan masa sesudah itu. Italia, menjelang perang usai merupakan sebuah pemandangan penting dari pertarungan politik partai, baik Kiri maupun Kanan. Sebuah pertarungan yang dengan cepat membuahkan kemenangan kepada fasisme pada 1922 dan melenyapkannya hak-hak politik. Sebagai anggota kunci dari Partai Sosialis Italia dan kemudian Partai Komunis Italia (PCI), Gramsci melihat kegagalan gerakan massa buruh revolusioner dan bangkitnya fasisme reaksioner didukung oleh massa kelas pekerja[1]. Kalangan neo-marxisme lainnya dari Mazhab Frankfurt, Theodor Adorno juga menelanjangi Fasisme sebagai puncak dari sisi negatif Kapitalisme[2].

Hal itulah yang memberikan pertanyaan-pertanyaan bagi Antonio Gramsci, seperti mengapa Kapitalisme bisa bertahan di Eropa Barat padahal melewati momen krisis - dan telah diramal oleh Marx akan mengalami pembusukan - serta diterima oleh massa pekerja, bahkan ketika berujud sebagai Fasisme seperti yang terjadi di Italia. Kaum proletariat Italia tidak seperti kaum Bolshevix di Uni Soviet.

C. Mengenal Antonio Gramsci

ANTONIO GRAMSCI adalah ketua dari Partito Comunista Italiano (PCI) di tahun 1924. Pada tanggal 8 November 1924 ia ditangkap dan meninggal sebagai tahanan 27 April 1937. Dalam penjara inilah Gramsci melakukan banyak penulisan termasuk tentang hegemoni, tulisan tersebut sepeninggal Gramsci berhasil di selendupkan keluar oleh sahabat Gramsci, Tatiana. Tulisan tersebut kemudian di kenal sebagai Quqreni del Carcere atau Selection from The Prison Notebooks.

Ketertarikan Gramsci terhadap aktivitas revolusioner dimulai semenjak ia kuliah di Universitas Turin dengan beasiswa yang didapatkannya pada tahun 1911. Maka kemudian di tahun 1913 Gramsci bergabung dengan Partito Socialista Italino (PSI) dan di tahun 1914 diberi tugas menjadi editor pada koran mingguan partai, Il Grido del Polopo (Jerit Tangis Rakyat). Kemudian bersama kawan-kawan mudanya Gramsci mendirikan koran mingguan Ordine Nuovo pada bulan Mei 1919.

Ketika terjadi perpecahan di tubuh PSI dan lahirlah PCI ditahun 1921, Gramsci bergabung dengan PCI dan sepanjang tahun 1922-1923 menjadi agen komintern. Sepulangnya ia ke Italia, Gramsci melakukan kritik terhadap PCI yang dinilainya sektarian dan Gramsci mulai menggeser pengaruh sayap kiri dalam tubuh PCI yang dipimpin ketuanya Bukharin, bahkan kemudian Gramsci mengganti kedudukan Bukharin sebagai pemimpin PCI.

Gramsci lahir 22 Januari 1891 di Ales, Sardinia, Italia. Kemiskinan, penyakit dan pertumbuhan badan yang tidak normal dan dibawa selama akhir hayatnya pernah mengakibatkannya menjadi introvet.

D. Konsep Hegemoni Gramsci

Hegemoni, bagi Gramsci, akan menjelaskan mengapa suatu kelompok atau kelas secara sukarela atau dengan konsensus mau menundukkan diri pada kelompok atau kelas yang lain Teori hegemoni Gramci adalah salah sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dibangun diatas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan "hegemoni" atau menguasi dengan "kepemimpinan moral dan intelektual" secara konsensual[3].

Gramsci membagi keberadaan hegemoni dalam dua wilayah super struktur, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik atau negara. Dalam kamus marxis ortodox bahwa basic struktur pasti akan mempengarui super struktur. Inilah yang kemudian ditolak Gramsci, Gramsci melihat arti penting "ruh" dan "ide" seperti halnya dalam filsafat Hegel dalam mempengaruhi kesadaran manusia dalam wilayah super struktur yang ternyata mampu mempertahankan bentuk basic struktur.

Kapitalisme dapat bertahan karena kaum borjuis mampu membangun dan mempertahankan hegemoninya terhadap kelas pekerja, sedangkan kaum intelektual proletariat (partai, fungsi partai adalah mengintegralkan intelektual secara massal) yang memiliki wilayah hegemoni bagi kelas pekerja ternyata gagal menggerakan kelas pekerja untuk melakukan perjuangan kelas dan revolusi akibat direduksinya pemikiran Karl Marx menjadi bentuk Darwinisme dan Determinisme, yang percaya akan keruntuhan kapitalisme dan keniscayaan revolusi akan terjadi dengan sendirinya dalam sebuah "hukum besi sejarah". Serta meletakan kesadaran dan strategi perjuangan pada perspektif determinan ekonomi. Hal ini didasarkan atas filsafat Materialisme Dialektika Historis, yang melihat bahwa sejarah dan perkembangan masyarakat ditentukan oleh alat produksi yang kemudian disebut sebagai basic structure sebagai bagian bawah yang mempengaruhi bangunan atas atau super strucure (negara, moral, idelogi, politik).

Di sini kemudian Gramsci melihat arti penting intelektual sebagai alat organiser bagi hegemoni. Bagaimana Hegemoni diciptakan, agar resistensi rakyat terhadap kelompok dominan dapat diminimalisir ?

Bagi Gramsci titik tolak pembangunan Hegemoni adalah konsensus, penerimaan konsensus ini bagi proletariat dilakukan dengan persetujuan dan kesadaran, namun hal itu bisa terjadi bagi Gramsci lebih dikarenakan kurangnya basis konseptual yang dimiliki kelas pekerja sehingga permasalahan sesungguhnya bisa dimanipulasi.

Ada dua hal mendasar menurut Gramsci menjadi biang keladinya, yaitu pendidikan di satu pihak dan mekanisme kelembagaan di lain pihak. Untuk itu Gramsci mengatakan bahwa pendidikan yang ada tidak pernah menyediakan kemungkinan membangkitkan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan sistematis bagi kaum buruh. Di lain pihak, mekanisme kelembagaan (sekolah, gereja, parpol, media massa dan sebagainya) menjadi "tangan-tangan" kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominir. Bahasa menjadi sarana penting untuk melayani fungsi hegemonis. Konflik sosial yang ada dibatasi baik intensitas maupun ruang lingkupnya, karena ideologi yang ada membentuk keinginan-keinginan, nilai-nilai dan harapan menurut sistem yang telah ditentukan[4].

Ada tiga tingkat Hegemoni menurut Gramsci yang diungkapkan Josep Femia, pertama, Hegemoni Integral, ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis. Contohnya Perancis sesudah revolusi (1879).

Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi tantangan berat. Dia menunjukan adanya potensi disintegrasi di sana. Dengan sifat potensial ini dimaksudkan bahwa disintegrasi itu tampak dalam konflik yang tersembunyi "di bawah permukaan kenyataan sosial". Artinya sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan atau sasaranya, namun pemikiran yang dominan dari subyek hegemoni. Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh.

Ketiga, hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan dengan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat. Mereka malah mempertahankan peraturan melalui transformasi penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial maupun ekonomi yang secara potensial bertentangan dengan "negara baru" yang di cita-citakan oleh kelompok hegemonis itu.

E. Kelemahan dan Kelebihan Teori Hegemoni

KELEMAHAN dari teori Hegemoni Gramsci adalah bahwa teori tersebut tidak dipraktekan terutama dalam persoalan cara perlawanan terhadap hegemoni borjuis, karena ia keburu meninggal dalam tahanan. Teori ini juga tidak bisa di generalisasikan pada setiap negara, khususnya dalam keberhasilan negara sebagai pembentuk hegemoni tunggal tanpa aliansi dengan dominasi, maka sesungguhnya kemudian keberadaan hegemoni negara dan kapitalisme tidak bisa dinafikan begitu saja dari kekuatan dominasi (kemampuan represif dan koersif) mereka

Namun meski demikian, ternyata teori hegemoni kemudian mampu digunakan untuk menganalisa hubungan internasional yang dipelopori Robert Cox, juga mengajak kita untuk melihat pertautan antara kepentingan dan ilmu pengetahuan sosial, sehingga ilmu sosial menjadi semakin terbongkar subyektifitasnya dan penolakan atas positivisme

Teori hegemoni kemudian juga memberikan bahan refleksi bagi kita akan obyektifitas ilmu sosial, karena bagaimanapun ternyata ada ada pertautan antara kepentingan dan kekuasaan dengan ilmu pengetahuan sosial.

Daftar Pustaka
Bakaruddin Rosyidi Ahmad, Pemikiran Marx tentang Alienasi: Sejarah Metode dan Isi, Tesis Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, 1991

Muhadi Sugiono, Restruturing Hegemony and The Changing Discourse of Develpoment. Terjemahan: Cholish, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembanguinan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Simon, Roger, Gramsci`s Political Thought, Terjemahan: Kamdani & Imam Baehaqi, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Insist & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
[1] Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h: 12-13
[2] Bakaruddin Rosyidi Ahmad, Pemikiran Marx Tentang Alienasi: Sejarah, Metode, dan Isi, Tesis Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 1991, h: 99
[3] Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h: 30-31
[4] Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara dan Revolusi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h: 127

Did I Have a Story?

Teori Hegemoni

Postingan ini merupakan postingan lanjutan, untuk melanjutkan keyword dari postingan kebijakan hegemoni di blog utchanovsky.com

Realitas terstruktur adalah teori yang cukup mengejutkan dari Louis Althusser, sekaligus kritik atas Marx yang menurutnya terlalu terpukau dengan klausul ekomoni sebagai faktor mekanisme terjadinya kekuasaan. Louis Althusser cukup berhasil menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk ideologi (ideologi di sini dalam arti negatif) disosialisasikan kepada masyarakat luas. Tapi, ada beberapa hal krusial yang membuat bagaimana mekanisme ideologi bisa tersebar luas dengan sangat efektif, yaitu teori hegemoni.

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Konsep hegemoni menjadi ngetrend setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah:

Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.

Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai.

Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa .

Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni.

John Storey menjelaskan konsep hegemoni untuk mengacu kepada proses sebagai berikut:

…sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada.

Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana kita bisa merasa rela saat ada orang lain membeli tanah sawah (tanah resapan), yang akan dibangun mall atau perumahan elit. Dan kita kayakngerasa lumrah ngomong gini: “Ya wajarlah dia punya duit”

Relevansinya dengan Diskursus Politik Kontemporer
Justinus Prastowo

Pada bagian ini akan dielaborasi berturut-turut pemikiran Gramsci dengan sistematika (1) metode Gramsci,(2) konteks historis pemikiran Gramsci, (3) perang posisi dan perang manuver, (4) membandingkan “East” dan “West”, (5) konsepsi Gramsi mengenai hubungan Negara dan civil society, (6) tilikan Gramsci mengenai “merawat” hegemoni.

“Metode” Gramsci

Sebagaimana layaknya dalam bagian lain di Prison Notebooks, Gramsci “sibuk” berpolemik dengan pemikir sebelum maupun sezamannya (Croce, Bukharin, Trotsky, Lenin, dll.). Untuk membangun sebuah teori komprehensif mengenai hegemoni, negara (state), dan civil society, Gramsci menggunakan metode analogi dalam menganalisis struktur sosial-politik di Barat (Western Europe). Pertanyaan Gramsci kira-kira dapat dirangkum demikian:”Mengapa revolusi proletariat terjadi di Timur (baca:Rusia) dan tidak di Barat? Mengapa fasisme dan bukan komunisme/sosialisme yang berkuasa?” Beranjak dari pertanyaan ini Gramsci membangun teorinya.

Konteks Historis

Pertanyaan Gramsci tersebut di atas dilatarbelakangi refleksi mendalam terhadap situasi dan kondisi di zamannya. Ia hidup di belahan selatan Italia, daerah pedesaan agraris yang secara ekonomi tergolong miskin dan secara kultural menjadi subordinat dari Italia Utara. Pada kurun 1800an, terjadi apa yang disebut Risorgimento di Italia, yaitu penyatuan Utara dan Selatan. Penyatuan ini pada akhirnya membagi Italia menjadi apa yang disebut “legal Italy” dan “real Italy.” Italia secara legal adalah Italia yang bersatu, namun secara riil Italia terbagi bahkan terpecah dalam dua kubu besar: Selatan yang miskin, lembek, terbelakang secara pendidikan, dan Utara yang mendominasi. Gramsci jelas berangkat dari pemihakannya pada Selatan, tempat dia berasal. Hal inilah yang di kemudian hari dilihatnya mirip dengan civil society di “Timur” (baca:Rusia) yang lembek dan mendorongnya lebih mempelajari revolusi Bolshevik di bawah Lenin. Namun ia tetap menimbang kenyataan di Italia bahwa revolusi yang berlangsung cepat akan menuntun ke kediktatoran, sesuatu yang ingin dihindarinya. Pada titik ini ia merefleksikan:

“…a class which has to work fixed hours every day cannot have permanent and specialized assault organizations – as can a class which has ample financial resources and all of whose members are not tied down by fixed work.”


Refleksi Gramsci juga banyak didorong fakta hadir dan berkuasanya fasisme di Italia. Lemahnya penentangan masyarakat pada fasisme, bahkan diterimanya fasisme merupakan hal yang merisaukan Gramsci. Ia menganggap hal ini disebabkan oleh lemahnya kesadaran kelas, dan tepatlah anggapannya tentang adanya subordinasi bahkan hegemoni, secara kultural dan moral. Maka, berbeda dengan keyakinan marxisme tradisional, Gramsci melihat bahwa faktor ekonomi bukankah satu-satunya keniscayaan prasyarat revolusi, melainkan hanya sebagai salah satu kondisi dan terdapat kompleksitas lain termasuk masalah kultural, intelektual, dan moral yang perlu dianalisis. Maka, Gramsci memikirkan secara ulang gagasan civil society, yang berbeda dengan pendahulunya Hegel dan Marx sekedar sebagai ranah ekonomis, tetapi sebagai ajang kontestasi dan perjuangan memenangkan hegemoni.

War of Manoeuvre dan War of Position

Gramsci menteorisasi perubahan historis dalam perjuangan politik (political struggle) dengan menggambarkan secara paralel perjuangan politik dan perang militer. Patut dicatat, dalam tiap perjuangan politik selalu dibutuhkan fondasi/sokongan militer War of Manoeuvre (perang manuver) adalah serangan frontal yang ditandai dengan pengerahan pasukan dalam gerak cepat. Sebaliknya War of position (perang posisi) - sebagaimana dikutip dari Jenderal Krasnov – ditandai tidak dengan pergerakan pasukan melainkan pembangunan benteng-benteng pertahanan. Terjadi peralihan dari sekedar taktik ke fungsi strategi. Dalam negara modern, civil society dianalogkan dengan benteng pertahanan (trenches).

Pasca 1870 terjadi perubahan mendasar di Eropa: relasi internal dan internasional dalam negara menjadi masif dan kompleks – berbeda dengan sebelumnya di mana otonomi civil society lebih besar daripada aktivisme negara- lalu lahirlah apa yang disebut “civil hegemony.” Struktur masif demokrasi modern – termasuk negara dan civil society – mempertegas pembentukan benteng pertahanan (trenches/fortification) ini. Gramsci menyamakan war of position ini dengan konsep “United Front”.

Kompleksitas negara modern ini menjadi bagian dari “seni politik” dan harus dikaji dalam ilmu politik. Dan Gramsci adalah orang yang menolak positivisme dalam ilmu politik. Bahwa jika ilmu politik menjadi positivis-deterministik, lalu apa arti aktivitas ilmiah jika tidak sebagai upaya transformatif atas dasar teoritisasi yang dilakukan (Gramsci menyebutnya tautologi). Jelas di sini Gramsci meletakkan ilmu politik dalam kaitannya dengan filsafat praksis.

Membandingkan “East” dan “West”

Untuk lebih memahami perbedaan antara war of manouevre dan war of position, civil society dan state, serta implikasinya dalam teori politik Gramsci, kita dapat melihat dari paragraf mashyur Gramsci, yakni kontras antara bangunan civil society di Eropa Timur (Rusia) dan Eropa Barat.

Di Rusia, Negara adalah segalanya, civil society bersifat primordial dan lembek; di Barat, terdapat suatu hubungan yang memadai antara Negara dan civil society, dan ketika Negara diguncang suatu struktur kuat tampaklah civil society. Negara hanyalah parit luar, yang di belakangnya terdapat system benteng pertahanan dan kubu: yang jumlahnya relatif besar dan merata di tiap Negara; hal mana yang membutuhkan pengamatan cermat adalah individu-individunya.

Di samping itu kita dapat menilik ke bahasan sebelumnya, Gramsci meminjam gagasan Machiavelli tentang konsepsi manusia sebagai “half-animal – half-human” atau dapat dijelaskan pola tegangan yang terjadi sebagai implikasi konsep tersebut, sebagai berikut:



Model hubungan state dan civil society antara “East” dan “West” dalam paragraph di atas kira-kira dapat dibagankan sebagai berikut:



Sehingga pola hubungan “state” dan “civil society” dapat dirangkum sbb.:



Konsepsi Negara (conception of the state) menurut Gramsci

Setelah melihat secara sepintas konteks historis dan hal-hal teknis dalam rumusan Gramsci, kita dapat membuat sebuah penafsiran atas gagasan Gramsci mengenai state dalam hubungannya dengan civil society.

I. State contrasts with Civil society, yang bagannya dapat disajikan sebagai berikut:



Gagasan civil society Gramci, diambil dari Hegel dan tentu saja Marx. Namun berbeda dengan keduanya, Gramsci membedakan antara “civil society” dan “political society,” dan menempatkan keduanya dalam superstruktur. Civil society adalah jalinan organisme yang umumnya disebut “privat”, lokus berfungsinya hegemoni oleh kelompok dominan dalam masyarakat. Civil society ini mencakup lembaga agama (mis.Gereja), lembaga pendidikan, serikat dagang, dll. Sedangkan “political society” – seringkali disebut “the State” – tidak menerapkan “consent” melainkan dominasi melalui aparatus pemaksa (coercive apparatusses), atau dapat digambarkan sbb.:



II. State encompasses Civil society



Atau dapat diformulasikan:



Gramsci tidak meletakkan hegemoni hanya pada civil society saja, melainkan juga pada state atau political society juga menjalankan fungsi hegemoni. Ia mengadopsi pandangan Croce mengenai “ethical-state” Gramsci mencontohkan bidang edukasi yang dijalankan negara memiliki sisi positif dan bidang peradilan (courts) dan konsep negara hukum (juridical government), yang sekaligus memiliki sisi negatif dan represif. Gramsci juga memasukkan pemilahan kekuasaan demokrasi liberal Legislatur-Judiciary-Executive juga organ hegemoni politis. Di sini berarti terjadi perluasan karakter hegemoni, dari hanya terjadi di civil society dan dilakukan melalui consent menjadi sekaligus dilakukan di civil society dan state dan akhirnya melibatkan sekaligus force dan consent.

III. State is identic with Civil society



Pada versi ini State sekaligus terdiri dari “political society” dan “civil society”. Menurut Gramsci, ”Negara tidak hanya dipahami sebagai aparatus pemerintah, melainkan juga sebagai aparatus “privat” dari hegemoni atau civil society.” Atau dikatakan di bagian lain: ”Dalam kenyataannya, civil society dan negara adalah satu dan sama.” Atau dalam bagian lain dikatakan: ”Hegemoni melampaui perkembangan historisnya memiliki kekuatan-kekuatan privat, pada civil society, yang merupakan bagian “negara” juga, yakni negara itu sendiri.” Versi ini juga disebut paham “integral state” Gramsci. Meski Gramsci kadang memaknai negara dalam pengertian sempit, sebagai “governmental-coercive apparatus,” ia juga memaknai negara sebagai “general notion of state,” atau “integral state” yang melibatkan sekaligus “social hegemony” atau “consent” dan “political government”.

Dalam model negara integral, kita menilik bahwa:

  • Negara adalah “kediktatoran + hegemoni” ( SPN,239)
  • Negara = political society + civil society, atau dengan kata lain hegemoni dilindungi oleh kekuatan koersif (SPN,263).
  • “Negara meliputi kompleksitas aktivitas teoritis dan praksis, dengannya kelas yang berkuasa tidak hanya membenarkan dan memelihara dominasinya, tetapi juga mengatur untuk memenangkan persetujuan aktif dari kelas-kelas yang dipimpin...” (SPN,244).

Permasalahan Seputar “Merawat” Hegemoni

Bertolak dari polemik sekaligus aktivisme politiknya, Gramsci menengarai beberapa hal yang dapat mengakibatkan gagalnya sebuah revolusi dan terjadinya restorasi. Setidaknya ada empat hal yang menarik perhatiannya:

  • Caesarisme , yakni sebuah situasi di mana terjadi keseimbangan kekuatan dalam konflik dan hanya akan berakhir jika masing-masing pihak saling merusak. Ini akhirnya membuka jalan bagi kekuatan ketiga untuk berkuasa.
  • Bonapartisme, yang merujuk pada naiknya Napoleon Bonaparte (Napoleon I), berkuasa melalui pemberontakan dalam Eighteenth Brumaire (9-10 November 1799) dan memproklamirkan diri sebagai kaisar pada 1804. Louis Bonaparte (Napoleon III) memenangi pemilihan kepala negara pada 1848, dan pada kudeta tahun 1851 ia membekukan parlemen dan tahun 1852 mendeklarasikan dirinya sebagai kaisar. Dalam kasus Napoleon I kekuatan petani dimanfaatkan untuk membawa ke tampuk kekuasaan dan segera sesudah itu Napoleon “main mata” dengan kaum borjuis dan meninggalkan petani. Lalu dalam hal Napoleon III, demokrasi parlementer (potensi lahirnya “parlementarisme” yang tidak efisien dan membahayakan ketika ia berada “dalam” negara) hanya digunakan untuk melegitimasi naiknya Napoleon III secara “demokratis” sebagai kepala negara untuk kemudian setelah kekuatannya memadai memberontak dan kembali ke model kekaisaran. Bonapartisme juga berlatar seperti caesarisme, konflik antarkekuatan/kelas yang melahirkan “pihak ketiga” sebagai penguasa.
  • Konsepsi negara sebagai “penjaga malam” (nightwatchman state) dalam liberalisme yang statis dan negara identik sekedar sebagai pemerintah (government) tidaklah memadai karenanya perlu melampaui status itu dan menjadi identik dengan “civil society”.
  • Statolatry, yaitu sebuah paham yang menyamakan konsepsi negara dengan apa yang ada semata-mata, atau sekedar negara-fungsionaris, diidentikkan dengan individu-individu atau kelompok sosial, artinya negara yang tidak “beyond”.

Mendialogkan Gagasan Civil society Gramsci

Setelah mencoba merumuskan masalah, menelusuri secara genealogis gagasan civil society sejak Eropa modern, dan memelajari gagasan Gramsci sendiri, tibalah kita pada pertanyaan krusial yakni bagaimana gagasan Gramsci berkorelasi dengan gagasan pendahulunya dan apa yang dapat dipertimbangkan dari keseluruhan gagasan Gramsci. Setidaknya dapat dicatat beberapa poin penting dalam hal ini:

  • Gramsci, yang dipengaruhi Croce, bertolak dari pemikiran Hegel. Civil society adalah ranah consent bukan koersi. Civic Bildung, dalam bahasa Hegel, dimulai dalam civil society. Namun berbeda dari Hegel yang mengklasifikasikan civil society dengan kelas borjuis, Gramsci memasukkan elemen-elemen non-ekonomi seperti kultural, termasuk institusi represif negara untuk memungkinkan hal yang tidak bisa dilakukan oleh Hegel: civil society yang melibatkan kelas proletariat, dalam artian kelas pekerja/serikat buruh menggantikan korporasi dan partai politik menggantikan polisi. Gramsci juga menyejajarkan konsepsi Hegel, civil society dengan Moralitat dan state dengan Sittlichkeit.
  • Gramsci adalah seorang marxist. Meski muncul berbagai tuduhan bahwa ia mengkhianati marxisme orthodoks karena menempatkan civil society bukan di wilayah basis/struktur melainkan di superstruktur. Terhadap hal ini dapat dijelaskan dua hal. Gramsci tetap menganggap civil society bertolak dari problem ekonomi, namun pengalamannya di Italia menunjukkan bahwa masalah ekonomi semata tidak cukup memimpin ke arah perjuangan revolusioner. Gramsci menempatkan problem ekonomis yang terjadi di civil society sebagai titik pijak revolusi marxian, dan di sisi lain diperlukan analisis kultural-politis mengenai hegemoni dan kontra-hegemoni yang hanya dimungkinkan sejauh kita masuk ke tataran superstruktur. Radikalisasi gagasan Hegel juga beranjak dari masalah ini. Pengalaman Jacobin dan Risorgimento menunjukkan perlunya merebut kontrol atas negara. Tetap mengikuti gagasan Hegel tentang negara-etis dan pemikiran Croce tentang dimensi etis-politis di civil society, Gramsci menggagas bahwa negara pada akhirnya adalah tujuan akhir dari perjuangan hegemonik yang terjadi di civil society.
  • Transformasi Gramsci dari konsepsi civil society yang otonom dari keluarga di satu sisi dan negara di sisi lain, dan terbatas pada masalah ekonomi ke ranah perjuangan dan kontestasi merebutkan hegemoni yang bercorak politis-kultural bermanfaat bagi penjelasan perubahan sosial. Gagasan Gramsci ini dapat dipandang sejajar dan mirip dengan konsep “space of appearance” Hannah Arendt meski Gramsci tidak pertama-tama hendak membatasi aktivitasnya dalam aksi dalam ide Arendt. Atau dengan Juergen Habermas yang menyebutnya ruang publik yang berada di antara life-world dan system. Konsepsi Gramsci ini bermanfaat setidakanya (1) dia mengakui civil society tidak secara literal sebagai ruang topografis, di mana civil society hanya dapat dibedakan dari negara dan ruang privat secara analitis, juga tidak jatuh dalam sekedar definisi formal semacam “civil society adalah dua atau lebih individu yang sebelumnya bertindak sendiri-sendiri memutuskan untuk berinteraksi dan memperluas relasi sosial dan politis di antara mereka di mana mereka selalu embedded.” Bagi Gramsci, civil society lebih dipahami sebagai upaya pencapaian tujuan kopektif sebuah kelompok sosial dalam interaksinya satu dengan yang lain, (2) berlawanan dengan Habermas di mana revitalisasi dan repolitisasi civil society dilaksanakan dalam sebuah situasi percakapan ideal, Gramsci memperhitungkan faktor afeksi, relasi spiritual, retorik, dan aturan sosial yang dinegosiasikan bahkan dalam konflik kepentingan dan ideologi.
  • Hegemoni mungkin dapat dipandang sebagai konkretisasi politis dan inkarnasi historis ide Hegel tentang spirit dalam masyarakat. Dalam catatan lain Gramsci menulis: What is called “public opinion” is closely linked to political hegemony, that is, it is the point of contact between “civil society” and ‘political society” [ that is, the state apparatus], between consent and force. The State, when it wants to initiate an action that is not too popular, will preventively create the public opinion desired, that is, it organizes and centralizes certain elements within civil society…naturally elements of public opinion have existed even in Asiatic satrapies; but public opinion as it is understood today was born on the eve of the fall of the absolute states, that is, at the time of the struggle of the new bourgeois class for political content of the public political will, one which is very possibly discordant and contradictory: thus there is the struggle for the monopoly of the organs of public opinion: newspapers, parties, parliament, in such a way that only one force shapes opinion and thus the national political will, reducing opposition to atomistic and disorganized dissent.

    Opini publik dalam civil society menempati posisi sentral, baik dalam memenangkan hegemoni maupun kontra-hegemoni. Opini publik dapat melegitimasi sekaligus mendelegitimasi kekuasaan negara ( political society). Artinya opini publik menghubungkan dua ruang/ranah secara resiprokal dan saling memengaruhi. Bentuk ideologis, kultural, moral/intelektual civil society adalah opini publik. Proses formasi opini publik dalam masyarakat borjuis dan kapitalis berlangsung dalam penguasaan wacana melalui kepemilikan media massa. Partai politik dan parlemen adalah institusi yang mengandaikan politik massa dan opini massa. Kedua institusi ini mengorganisasi dan memobilisasi opini dari dalam dan dari luar institusi negara. Jika opini publik adalah irisan atau interseksi dua ranah, negara dan civil society, ini berarti tepatlah relasi tegangan consent dan force, violence dan persuasion, power dan reason, yang terejawantah dalam produk hukum dan kebijakan. Konflik inilah yang dimaksudkan Gramsci sebagai war of position, yang berlangsung lama dalam kubu dan benteng pertahanan, dan akhirnya diskursus dan konflik yang terjadi memproduksi isi dari sebuah negara. Kesejajaran ini menghasilkan rumusan bahwa konflik tentang opini publik dalam civil society secara simultan adalah konflik untuk meraih dan memelihara kekuasaan negara.



Gagasan Gramsci menunjukkan relevansi yang signifikan justru ketika kini pemikirannya dianggap usang. Otonomi civil society sebagaimana dikonsepsikan beberapa pemikir tampak tidak memadai sebagai pisau analisis terhadap lanskap politik kontemporer. Kita dapat menyimak misalnya dalam kasus kepemilikan perusahaan-perusahaan yang bergerak di media massa. Dalam format politik liberal kebebasan pers sungguh diakui, akses untuk berserikat dan mengartikulasikan gagasan juga diberi ruang luas, bahkan disediakan impunitas bagi anggota parlemen untuk berpendapat. Jelas di sini aparatus dan lembaga negara tidak mempraktekkan koersi terhadap oposisi. Tapi yang terjadi adalah penguasaan opini publik melalui dominasi. Silvio Berlusconi adalah tokoh liberal Italia yang merupakan perdana menteri sekaligus pemilik enam saluran televisi berpengaruh di negaranya. Tony Blair semasa menjabat perdana menteri Inggris berniat mengontrol BBC melalui sistem kepemilikan, dan terakhir bagaimana Gedung Putih pasca 11 September secara massif dan sistematis, tidak melalui pemberangusan oposisi, atau penutupan media massa, melainkan kampanye massif bahaya teroris melalui para intelektual kanan, publikasi di koran dan wawancara di televisi , khotbah-khotbah di mimbar gereja milik kaum evangelis kanan. Atau misalnya bagaimana kisah naiknya Agusto Pinochet di Chile ketika mengudeta Salvador Allende yang menegaskan rencana sistematis untuk sebuah operasi terhadap kaum kiri, utamanya Antonio Gramsci dalam kertas kerja bernama Santa Fee II. Para intelektual yang tergabung dalam Project for the new American Century (PNAC) seperti, Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, dan Elliot Abram adalah tokoh-tokoh dalam civil society yang kini bertengger di lingkaran kekuasaan.

Untuk kasus Indonesia mungkin bisa menyejajarkan kepemilikan TVRI sebagai saluran resmi sekaligus lembaga pembentuk opini publik, berikut koran pemerintah Suara Karya dan harian Angkatan Bersenjata. Tak ditampik juga bahwa pemerintah “berhak” memeroleh saham kosong dalam berbagai perusahaan media massa. Partai politik dihiasi oleh para aktivis angkatan’66 dan pernah sangat berkuasa dan mendominasi blantika kekuasaan formal Indonesia.

Jelas di sini tampak interseksi civil society dengan negara, bahkan tanpa perlu pertama-tama mengandaikan dipakainya kekuasaan represif untuk menegaskannya. Dan lebih jelas lagi, bagaimana perjuangan memeroleh hegemoni diperjuangkan Amerika Serikat, dibangun dengan latar belakang militer yang sangat kuat, teknologi pertahanan sedemikian canggih, dilengkapi dengan amerikanisme, produksi dan eksport kultur amerika yang ditancapkan ke jejaring lokal menumpang apa yang disebut globalisasi (neoliberal). Di sini pula klarifikasi terhadap tuduhan ke Gramsci terjawab. Alih-alih mengamini tradisi liberal, Gramsci sebaliknya menelanjangi praktek permainan tegangan hegemonik negara liberal yang meminggirkan negara sebagai sekedar penjaga malam tetapi sejatinya dipakai sebagai pengawal dan pelestari sebuah motif politik-kekuasaan yang subtil, menguasai tidak dengan represi melainkan hegemoni.

Catatan Akhir

Bagaimanapun juga paparan Gramsci amat memukau, setidaknya kepiawiannya sebagai polemikus mengkonstruksi sebuah konsep tentang hegemoni, melebihi para marxist pendahulunya khususnya Lenin. Gramsci meletakkan kekuasaan (power) tidak sekedar di dalam superstruktur bernama negara melainkan “menyediakan” sebuah lahan kontestasi kekuatan dalam pemilahannya akan ‘civil society” dan “political society.” Kekuasaan kini dipahami relasional (kelak dikembangkan Michel Foucault). Teorisasinya mengenai “political hegemony” dan “civil/cultural hegemony” juga sangat berpengaruh pada para pemikir “cultural studies” ( Raymond William, Stuart Hall, Gayatri Spivak, dan juga Edward Said). Konsepsinya mengenai demokrasi dikembangkan lebih jauh oleh Laclau dan Mouffe.

Namun, pemikiran Gramsci bukannya tidak bermasalah. Setidaknya dapat dicatat beberapa fakta dan tanggapan pokok:

  • Tidak seluruh imajinasi Gramsci cocok dan terjadi. Dalam beberapa contoh revolusi sosialis yang terjadi, “menghilangnya” civil society bukannya melalui proses elegan yakni, leburnya negara, civil society, dan ruang privat. Justru bubarnya negara sosialis seperti Polandia diawali pembentukan pergerakan Polish Solidarity.
  • Identifikasi negara dengan civil society tidak terang betul, bahkan cenderung membuka tafsir beragam, misalnya pertanyaan sejauh mana otonomi ada? Althusser, misalnya, di kemudian hari meradikalkan gagasan ini dengan menolak adanya civil society yang otonom. Ini menunjukkan kelemahan Gramsci yang gagal menyajikan fakta historis yang menerangkan bagaimana wilayah publik antara negara dan ruang privat muncul, bagaimana dan mengapa mereka mengubah karakternya, dan kondisi-kondisi kemungkinan yang mampu mewujudkannya. Mungkin ini berakar pada pemilihannya menempatkan civil society di superstruktur dan kesetiaannya pada tradisi marxisme yang memberi prioritas pada basis sebagai titik pijak. Pemilahan negara/civil society/ruang privat menjadikan civil society sekedar diturunkan dari negara atau ruang privat. Dan dalam prakteknya, titik tolak ekonomi berarti beranjak pada fakta bahwa civil society lebih sebagai subordinasi negara. Pandangan negatif terhadap negara membuat Gramsci mengabaikan fakta berkembangnya relasi baru antara negara dan ruang privat dalam bentuk economic-corporate dan political-bureaucratic. Titik tolak civil society dari basis akan membuat analisis menjadi mungkin namun gagal direalisasikan ketika berhadapan dengan negara. Alternatif lain, misalnya yang ditawarkan Walter L. Adamson, jika ingin tetap setia pada format basis-superstruktur, Gramsci dapat memetakannya dalam distingsi: struktur birokratis-korporat yang beroperasi dalam sistem logis tindakan-rasional-bertujuan di satu sisi dan “life-world” dari organisasi privat dan publik dan orang-orang yang beroperasi melalui norma-norma partisipasi, keadilan, dan komunitas, afeksi mutual, keintiman, dan kepedulian satu sama lain.
  • “Keterkaitan” civil society dan political society dalam prakek hegemoni, yang masing-masing dikonsepsikan dalam political hegemony dan civil hegemony, menjadikan tidak jelasnya mekanisme dan distribusi coersion vs consent, mengingat hak untuk melakukan koersi jelas tidak dimiliki oleh civil society.
  • Dalam kaitannya dengan demokrasi liberal yang dikuasai oleh hegemoni kapitalisme, kita dapat mengajukan pertanyaan lebih jauh mengingat Gramsci tidak secara terinci menganalisis dan membandingkan secara komprehensif demokrasi borjuis dengan fasisme atau absolutisme Tsar Rusia. Ini kiranya berpangkal dari tesis Gramsci yang menyamakan antara war of position dengan civil hegemony, yang dilakukan secara kultural melalui consent. Dengan demikian Gramsci mengabaikan watak koersif negara, yang dipraktekkan pemerintahan borjuasi. Lalu hegemoni yang diraih melalui “appeal propriety” dilakukan dengan melakukan konversi/pertobatan ideologis kelas pekerja dari hegemoni dan dominasi kelas borjuis ke ideologi sosialis. Apakah dengan demikian lantas watak revolusioner perjuangan sosialis menjadi terlupakan? Atau jika ditilik dari analogi militer, tidakkah war of position justru membuka jalan bagi war of manouevre?***



Kepustakaan:

Benedetto Fontana, "Liberty and Domination: Civil society in Gramsci," Boundary 2,2006,
Joseph Buttigieg, "The Impoverisment of Civil society," Boundary 2, 2006.
Joseph Buttigieg, "The Contemporary Discourse on Civil society: A Gramscian Critique," Boundary 2, 2005.
Salvador Giner, "The Withering Away of Civil society?" Praxis International Vol.5 No.3, October 1985.
Thomas Hobbes, "Leviathan," Touchstone; 1st Touchstone Ed edition (February 1, 1997)
John Locke, "Second Treatise of Government," The Liberal Arts Press, 1952 (January 1, 1952).
Robert B. Pippin dan Otfried Hoffe (editor), "Hegel on Ethics and Politics," Cambridge, 2004.
Walter L. Adamson, "Gramsci and The Politics of Civil society," Praxis International 7:3/4, Winter, 1987/8
Gramsci, "Selection from the Prison Notebooks (selanjutnya disingkat SPN)," editor Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith, International Publisher, New York, 1999
Perry Anderson, "The Antinomies of Antonio Gramsci," New Left Review I/100, 1976.
Juergen Habermas, "The Theory of Communicative Action," Beacon Press (March 1, 1985

Pamikiran

Cithakan:Marxist theory Gramsci dianggep salah siji pamikir teori Marxis kang paling wigati ing abad ka-20, utamané minangka pamikir kunci jroning mangun Marxisme Kulon. Dhèwèké nulis luwih saka 30 buku cathetan lan 3000 kaca sajarah lan analisis ing sajeroning kunjara. Tulisan-tulisan iki, misuwur minangka cathetan saka jronig kunjara (Prison Notebooks), isiné panjlajahan Gramsci bab sajarah Italia lan nasionalisme, ora kèri uga sawetara gagasan bab teori Marxisme, teori kritis lan teori pendhidhikan kang magepokan karo jenengé, kayata:

  • Hegemoni budaya minangka cara kanggo njaga negara kapitalis.
  • Kabutuhan bab pendhidhikan tumrap para buruh kanggo majokaké intelèktualitas para buruh klas pekerja.
  • Pamérangan jroning masyarakat politik (polisi, militèr, sistem hukum, lsp.) kang ndominasi sacara langsung lan kanthi peksan, lan masyarakat sipil (kulawarga, sistem pendhidhikan, persatuan pedagang (trade union), lsp.) ing ngendi kapemimpinan diwangun liwat ideologi utawa pasetujon.
  • 'Sajarahisme absolut'.
  • Kritik bab determinisme ekonomi.
  • Kritik bab filsafat materialisme.

Hegemoni

Hegemoni kuwi konsèp kang sadurungé dianggo déning kaum Marxis kayadéné Lenin kanggo nuduhaké kapemimpinan politik saka kelas pekerja jroning revolusi demokratik, nanging diwangun déning Gramsci dadi sawijining analisi kang akut kanggo maratélakaké kenapa revolusi sosialis kang ora bisa disélaki kang diramalaké déning Marxisme ortodhok ora kadadéyan ing wiwitan abad ka-20.

Intelèktual lan pendhidhikan

Gramsci awèh pamikiran kang akèh bab peran intelèktual jroning masyarakat. Kang misuwur, dhèwèké mratélakaké yèn kabêh wong kuwi intelèktual, saéngga kabèh duwé pemikiran intelèktual lan rasional, nanging ora kabèh duwé fungsi sosial jroning para intelèktual. Dhèwèké nganggep yèn para intelèktual modern ora mung tukang wicara, nanging minangka pangarah lan pangorganisasi kang mbiyantu mangun masyarakat lan ngasilaké hegemoni liwat alat ideologi kayata pendhidhikan lan media.

Negara lan masyarakat sipil

Téori Gramsci bab hegemoni kagandhèng karo konsèpé bab negara kapitalis, kang miturut Gramsci ngatur negara liwat kakuwatan lan pasetujon. Negara ora ditafsiraké sacara cethèk mung arupa pamaréntah; nanging, Gramsci mérang dadi 'masyarakat politik', minangka arena politik institusi lan kontrol hukum konstitusi, lan 'masyarakat sipil', kang umumé arupa alam 'pribadi' utawa 'dudu negara', klebu bab sistem ekonomi. Pérangan kang kapisan mau minangka rangkahé kakuwatan déné pérangan kang kapindho rangkahé pasetujon. Senadyan mangkono, Gramsci nadhesaké yèn pamérangan kuwi mau mung murni konsèp lan kaloroné jroning kasunyatan kerep tumpang tindhih.

Pangaruh pamikiran Gramsci

Tidak ada komentar: