Senin, 09 Februari 2009

psikologi komunikasi

BAB I

Apakah Psikologi Komunikasi Itu

Komunikasi sangat esensial untuk pertumbuhan kepribadian manusia. Kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian. Komunikasi amat erat kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran manusia.

Dalam sejarah perkembangannya komunikasi memang dibesaran oleh para peneliti psikologi. Bapak Ilmu Komunikasi yang disebut Wilbur Schramm adalah sarjana psikologi. Kurt Lewin adalah ahli psikologi dinamika kelompok. Komunikasi bukan subdisiplin dari psikologi. Sebagai ilmu, komunikasi dipelajari bermacam-macam disiplin ilmu, antara lain sosiologi dan psikologi.

Ruang Lingkup Psikologi Komunikasi

Hovland, Janis, dan Kelly, semuanya psikolog, mendefinisikan komunikasi sebagai ”the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal) to modify the behavior of other individuals (the audience). Dance mengartikan komunikasi dalam kerangka psikologi behaviorisme sebagai usaha “menimbulkan respon melalui lambang-lambang verbal.”

Kamus psikologi, menyebutkan enam pengertian komunikasi.

1. Penyampaian perubahan energi dari satu tempat ke tempat yang lain seperti dalam sistem saraf atau penyampaian gelombang-gelombang suara.

2. Penyampaian atau penerimaan sinyal atau pesan oleh organisme.

3. Pesan yang disampaikan

4. (Teori Komunikasi) Proses yang dilakukan satu sistem yang lain melalui pengaturan sinyal-sinyal yang disampaikan.

5. (K.Lewin) Pengaruh suatu wilayah persona pada wilayah persona yang lain sehingga perubahan dalam satu wilayah menimbulkan peribahan yang berkaitan pada wilayah lain.

6. Pesan pasien kepada pemberi terapi dalam psikoterapi.

Psikologi mencoba menganalisa seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikasi, psikologi memberikan karakteristik manusia komunikan serta faktor-faktor internal maupun eksternal yang memengaruhi perilaku komunikasinya. Pada komunikator, psikologi melacak sifat-sifatnya dan bertanya : Apa yang menyebabkan satu sumber komunikasi berhasil dalam memengaruhi orang lain, sementara sumber komunikasi yang lain tidak?

Psikologi juga tertarik pada komunikasi diantara individu : bagaimana pesan dari seorang individu menjadi stimulus yang menimbulkan respon pada individu lainnya. Komunikasi boleh ditujukan untuk memberikan informasi, menghibur, atau memengaruhi. Persuasif sendiri dapat didefinisikan sebagai proses mempengaruhi dan mengendalikan perilaku orang lain melalui pendekatan psikologis.

Ciri Pendekatan Psikologi Komunikasi

Komunikasi begitu esensial dalam masyarakat manusia sehingga setiap orang yang belajar tentang manusia mesti sesekali waktu menolehnya. Komunikasi telah ditelaah dari berbagai segi : antropologi, biologi, ekonomi, sosiologi, linguistik, psikologi, politik, matematik, enginereering, neurofisiologi, filsafat, dan sebagainya. Sosiologi mempelajari komunikasi dalam kontesks interkasi sosial, dalam mencapai tujuan-tujuan kelompok. Colon Cherry (1964) mendefinisikan komunikasi sebagai, ”usaha untuk membuat suatu satuan sosial dari individu dengan menggunakan bahasa atau tanda. Memiliki bersama serangkaian peraturan untuk berbagai kegiatan mencapai tujuan.”

Psikologi uga meneliti kesadaran dan pengalaman manusia. Psikologi tertama mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyababkan terjadinya perilaku manusia itu. Bila sosiologi melihat komunikasi pada interaksi sosial, filsafat pada hubungan manusia dengan realitas lainnya, psikologi pada perilaku individu komunikan.

Fisher menyebut 4 ciri pendekatan psikologi pada komunikasi : Penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli), proses yang mengantarai stimuli dan respon (internal meditation of stimuli), prediksi respon (prediction of response),dan peneguhan respon (reinforcement of responses). Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respon yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respon yang terjadi pada masa yang akan datang.

George A.Miller membuat definisi psikologi yang mencakup semuanya : Psychology is the science that attempts to describe, predict, and control mental and behavioral event. Dengan demikian, psikologi komunikasi adalah imu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan persistiwa mental dan behavioral dalam komunikasi. Peristiwa mental adalah ”internal meditation of stimuli”, sebagai akibat berlangsungya komunikasi.

Komunikasi adalah peristiwa sosial – peristiwa yang terjadi ketika manusa berinteraksi dengan manusia yang lain. Peristiwa sosial secara psikologis membawa kita pada psikologi sosial. Pendekatan psikologi sosial adalah juga pendekatan psikologi komunikasi.

Penggunaan Psikologi Komunikasi

Tanda-tanda komunikasi efektif menimbulkan lima hal :

1. Pengertian : Penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksudkan oleh komunikator

2. Kesenangan : Komunikasi fatis (phatic communication), dimaksudkan menimbulkan kesenangan. Komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita hangat, akrab, dan menyenangkan.

3. Mempengaruhi sikap : Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor pada diri komunikator, dan pesan menimbulkan efek pada komunikate. Persuasi didefiniksikan sebagai ”proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri.

4. Hubungan sosial yang baik : manusia adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Kita ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Abraham Maslow menyebutnya dengan ”kebutuhan akan cinta” atau ”belongingness”. William Schutz merinci kebuthan dalam tiga hal : kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengar orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan kekuasaan (control), cinta serta rasa kasih sayang (affection).

5. Tindakan : Persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dihendaki. Menimbukan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting. Karena untuk menimbulkan tidakan, kita harus berhasil lebih dulu menanamkan pengertian, membentuk dan menguhan sikap, atau menumbukan hubungan yang baik

Faktor Personal Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia

June 1, 2008 by nadiasabrina

FAKTOR-FAKTOR PERSONAL YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MANUSIA

Ada dua macam psikologi sosial.

1. Psikologi sosial dengan huruf P besar

2. psikologi sosial dengan huruf S besar

Kedua pendekatan ini menekankan faktor-faktor psikologis dan faktor-faktor sosial. Atau dengan istilah lain faktor-faktor yang timbul dari dalam individu (faktor personal),dan faktor-faktor berpengaruh yang datang dari luar individu (faktor environmental).

McDougall menekankan pentingnya faktor personal dalam menentukan interaksi sosial dalam membentuk perilaku individu. Menurutnya, faktor-faktor personallah yang menentukan perilaku manusia.

Menurut Edward E. Sampson, terdapat perspektf yang berpusat pada persona dan perspektif yang berpusat pada situasi. Perspektif yang berpusat pada persona mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa instik, motif, kepribadian, sistem kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar terdapat dua faktor.

1. Faktor Biologis

Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia. Pentingnya kita memperhatikan pengaruh biologis terhadap perilaku manusia seperti tampak dalam dua hal berikut.

1.

1. Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia, dan bukan perngaruh lingkungan atau situasi.

2. diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai motif biologis. Yang paling penting dari motif biologis adalah kebutuhan makan-minum dan istirahat, kebutuhan seksual, dan kebutuhan untuk melindungi diri dari bahaya.

1. Faktor Sosiopsikologis

Kita dapat mengkalsifikasikannya ke dalam tiga komponen.

1.

1. Komponen Afektif

merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya.

1.

1. Komponen Kognitif

Aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia.

1.

1. Komponen Konatif

Aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.

PERTANYAAN!!

Jelaskan tentang Perspektif yang berpusat pada situasi!

MOTIF SOSIOGENESIS

Motif sosiogenesis disebut juga dengan motif sekunder sebagai lawan motif primer (motif biologis). Berbagai klasifikasi motif sosiogenesis :

W.I Thomas dan Florian Znanieckci :

1. Keinginan memperoleh pengalaman baru

2. Keinginan untuk mendapatkan respons

3. Keinginan akan pengakuan

4. Keinginan akan rasa aman

David McClelland :

1. Kebutuhann berprestasi (need for achievement)

2. Kebutuhan akan kasih sayang (need for affiliation)

3. Kebutuhan berkuasa (neef for power)

Abraham Maslow :

1. Kebutuhan akan rasa aman (safety needs)

2. Kebutuhan akan keterikatan dan cinta (belongingness and love needs)

3. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs)

4. Kebutuhan untuk pemenuhan diri (self-actualization)

Melvin H.Marx :

1. Kebuthan organismis :

1. Motif ingin tahu (curiosity)

2. Motif kompetensi (competence)

3. Motif prestasi (achievement)

2. Motif-motif sosial :

1. Motif kasih sayang (affiliation)

2. Motif kekuasaan (power)

3. Motif kebebasan (independence)

Motif sosiogenesis dapat dijelaskan dibawah ini :

1. Motif ingin tahu : mengerti menata dan menduga. Setiap orang berusaha memahami dan memperoleh arti dari dunianya.

2. Motif kompetensi : setiap orang ingin membuktikan bahwa ia mampu mengatasi persoalan kehidupan apapun

3. Motif cinta : sanggup mencintai dan dicintai adalah hal esensial bagi pertumbuhan kepribadian.

4. Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas : erat kaitannya dengan kebutuhan untuk memperlihatkan kemampuan dan memperoleh kasih sayang, ialah kebutuhan untuk menunjukan eksistensi di dunia ini.

5. kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna hidup : Dalam menghadapi gejolak kehidupan, manusia membutuhkan nilai-nilai untuk menuntunnya dalam mengambil keputusan atau memberikan makna pada kehidupannya.

6. Kebutuhan akan pemenuhan diri : Kita bukan saja ingin mempertahankan hidup, kita juga ingin meningkatkan kualitas kehidupan diri kita; ingin memenuhi peotensi-potensi kita.

PERTANYAAN!!

Jika motif sosiogenesis mempunyai peranan yang penting dalam membentuk perilaku sosial, mengapa disebut motif sekunder?

KONSEPSI MANUSIA DALAM PSIKOANALISIS

Sigmund Freud, pendiri psikoanaliss adalah orang yang pertama berusaha merumuskan psiologi manusia. Ia memfokuskan perhatiannya kepada totalitas kepribadian manusia.

Menurut Freud perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsitem dalam kepribadian manusia :

1. Id

Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat manusia hewani.

1. Ego

Ego berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas dunia luar. Ego adalah mediator anatara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego dapat menundukan manusia terhadap hasrat hewaninya.

1. Superego

Superego adalah polisi kepribadian, mewakili yang ideal. Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Ia memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam bawah sadar.

Dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego).

PERTANYAAN!!

Sebutkan contoh perilaku orang yang mencerminkan Id, Ego, dan Superego!

TEORI BEHAVIORISME

Teori Behaviorisme Adalah teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan.Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus).

Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Edward Edward Lee Thorndike (1874-(1874-1949))

Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi anatara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, adal eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.

Ivan Petrovich Pavlo (1849-1936)

Teori pelaziman klasik

Adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli yang terkondisi dengan stimuli tertentu yang tidak terkondisikan, yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respons terkondisikan.

Skinner (1904-1990)

Skinner menganggap reward(penghargaan) dan rierforcement(peneguhan) merupakan factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.

Albert Bandura (1925-sekarang)

Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar.

Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ”mentalistik”.

Format Diskusi

June 1, 2008 by nadiasabrina

Diskusi Meja Bundar :

Kelebihan :

- menyebabkan arus komunikasi yang bebeas di antara anggota-anggota kelompok

- terjadi jaringan komunikasi semua saluran

- memudahkan partisipasi spontan yang lebih demokratis daripada susunan meja segi empat yang lebih otokratis dan kaku

- memungkinkan individu berbicara kapan saja tanpa ada agenda yang tetap.

- Mengisyaratkan waktu yang tidak terbatas dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.

- Lebih informal

Kekurangan:

- Sifatnya terbatas

- Tidak dapat digunakan dalam diskusi yang bersifat formal.

Contoh : Diskusi dalam belajar kelompok

Simposium :

Kelebihan :

- Simposium menyajikan informasi untuk dijadikan suber rujukan khalayak dalam mengambil keputusan pada waktu yang akan datang

- Informasi diklasifikasikan berdasarkan urutan logis, perbedaan titik padang, atau pemecahan alternatif

- Setiap bagian dari pokok bahasan diulas oleh seorang pembicara pada waktu yang sudah ditentukan

- Hadirin dapat mendiskusikannya dalam forum yang diatur oleh moderator, sehingga proses diskusinya pun menjadi sangat teratur dan rapi.

- Dapat dipakai pada kelompok besar maupun kecil.

- Dapat mengemukakan informnasi banyak dalam waktu singkat.

- Pergantian pembicara menambah variasi dan sorotan dari berbagai segi akan menjadi sidang lebih menarik.

- Dapat direncanakan jauh sebelumnya.

Kekurangan :

- Kurang spontanitas dan kneatifitas karena pembahas maupun penyanggah sudah ditentukan.

- Kurang interaksi kelompok.

- Menekankan pokok pembicaraan.

- Agak terasa formal.

- Kepribadian pembicara dapat menekankan materi.

- Sulit mengadakan kontrol waktu.

- Secara umum membatasi pendapat pembicara.

- Membutuhkan perencanaan sebelumnya dengan hati-hati untuk menjamin jangkauan yang tepat.

- Cenderung dipakai secara berlebihan.

Contoh : Konfrensi Pers

Diskusi Panel :

Kelebihan :

- Membangkitkan pikiran.

- Mengemukakan pandangan yang berbeda-beda.

- Mendorong ke analisis lebih lanjut.

- Memanfaatkan para ahli untuk berpendapat dan proses pemikirannya dapat membelajarkan orang lain.

Kelemahan :

- Mudah tersesat bila moderator tidak terampil.

- Memungkinkan panelis berbicara terlalu banyak.

- Tidak memberi kesempatan peserta untuk berbicara.

- Cenderung menjadi serial pidato pendek.

- Membutuhkan persiapan yang cukup masak.

Contoh : Diskusi panel, biasanya untuk membahas suatu hal yang membutuhkan banyak pembicara (panelis I, Panelis II, Panelis III). Misalnya ketika terdapat diskusi tentang “pengelolaan sampah di bandung”, maka panelis2nya adalah orang-orang yang berhubungan dengan masalah tersebut dengan jabatan yang berbeda.

Kolokium :

Kelebihan :

- Memberian kesempatan kepada wakil-wakil khalayak untuk mengajukan pertanyaan yang sudah dipersiapkan kepada seorang atau beberapa orang ahli

- Bersifat teratur dan formal

Kekurangan :

- Diskusi diatur secara ketat oleh moderator sehingga penanya tidak dapat bertanya dengan leluasa

- Ahli biasanya hanya diizinkan menjawab pertanyaan, tidak boleh bertanya.

Contoh : di amerika biasanya terdapat perdebatan terbuka antar calon presiden ”public debate”

Forum (ceramah)

Kelebihan :

- Menambah pandangan dengan reaksi pengunjung.

- Dapat dipakai terutama pada kelompok yang besar.

- Dapat dipakai untuk menyajikan keterampilan yang banyak dalam waktu singkat.

- Pergantian pembicara menambah vaniasi.

- Reaksi pengunjung mendorong pengunjung untuk mendengarkan dengan lebih banyak perhatian.

Kelemahan :

- Membutuhkan banyak waktu.

- Pribadi masing-masing pembicara dapat memaksakan pada materi yang kurang tepat.

- Tanggapan dari kelompok tertunda.

- Sulit mengendalikan waktu.

- Periode forum mudah terulur.

Contoh : Komunikator menggabungkan pertanyaannya sendiri, pertanyaan dari khalayak dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang digabungkan untuk menghasilkan suatu diskusi terbuka yang informatif dan menghibur.

Prosedur Parlementer

Kelebihan :

- diskusi akan berjalan sangat teratur karena terdapat peraturan tata tertib selama mengadakan diskusinya.

- secara ketat memaksa kelompok mendiskusikan hanya satu persoalan pada satu saat

Kekurangan :

- hanya dengan suara dua pertiga diskusi dapat dihentikan

- yang boleh bicara diatur oleh ketua. Sehingga orang lain yang mempunyai ide-ide kreatif akan tersendat bila tidak ditunjuk oleh ketuanya.

- Segala hal ditentukan dalam sidang sehingga, sudah dapat diramalkan waktu bicara seseorang.

Konsep Manusia Kognitif, dan Humanistik

June 1, 2008 by nadiasabrina

Konsep Manusia Dalam Psikologi Kognitif

Manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya: manusia: makhluk yang selalu berpikir (Homo Sapiens). Decrates, juga Kant, menyimpulkan bahwa jiwalah yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan alat indera. Jiwa menafsitkan pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima.

Para psikologi Gestalt menyatakan bahwa manusia tidak memberikan respons kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia menangkap dulu ”pola” stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna.

Menurut Lewin, perilaku mansia harus dilihat dari konteksnya. Dari fisika, Lewin meminjam konsep medan (field) untuk menunjukan totalitas gaya yang mempengaruhi seseorang pada saat tertentu. Perilaku manusia bukan sekedar respons pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat (life space). Ryang hayat terdiri dari tujuan kebutuhan individu, semua faktor yang disadarinya, dan kesadaran diri.

Dari Lewin juga lahir konsep dinamika kelompok. Dalam kelompok, individu menjadi bagian yang saling berkaitan dengan anggota kelompok yang lain. Kelompok memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki individu. Lewin juga berbicara tentang tension (tegangan) yang menunjukan suasana kejiawaan yang terjadi ketika kebutuhan psikologis belum terpenuhi.

Sejak pertengahan tahun 1950-an berkembang penelitian mengenai perubahan sikap dengan kerangka teoritis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif (The Person as Consistency Seeker). Di sini, manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha menjaga keajegan dalam sistem kepercayaannya dengan perilaku.

Awal tahun 1970-an, teori disonansi dikritik, dan muncul konsepsi manusia sebagai pengolah informasi (The Person as Information Processor). Dalam konsepsi ini, manusia bergeser dari orang yang suka mencari justifikasi atau membela diri menajadi orang yang secara sadar memecahkan persoalan. Perilaku manusia dipandang sebagai produk strategi pengolahan informasi yang rasional, yang mengarahkan penyandian, penyimpanan, dan pemanggilan informasi.

Manusia dalam Konsepsi Psikologi Humanistik

Pada psikologi Humanistik, manusia menentukan cinta, kreativitas, dan pertumbuhan pribadi yang ada dalam dirinya. Psikologi Humanistik mengambil banyak dari psikoanalisis Neo-Freudian, tetapi lebih banyak mengambil dari fenomologi dan eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam ”dunia kehidupan” yang dipresepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri.

Menusut Alferd Schutz, pengalaman subjektif ini dikomunikasikan oleh faktor sosial dalam proses intersubjektivitas. Intersubjektivitas diungkapkan pada eksistensialisme dalam tema dialog, pertemuan, hubungan diri-dengan-orang lain, atau apa yang disebut Martin Buber ”I-thou Relationship”. Istilah ini menunjukan hubungan pribadi dengan pribadi, bukan pribadi dengan benda; subjek dengan subjek, bukan subjek dengan objek.

Perhatian pada makna kehidupan adalah juga hal yang membedakan psikologi humanistik dari mazhab yang lain. Manusia bukan saja pelakon dalam panggung masyarakat, bukan saja pencari identitas, tetapi juga pencari makna.

Fran menyimpulkan asumsi-asumsi Psikologi Humanistik: keunikan manusia, pentingnya nilai dan makna, serta kemampuan manusia uuntuk mengembangkan dirinya.

Carl Rogers menggarisbesarkan pandangan Humanisme sebagai berikut:

1. Setiap manusia hidup dalam dua pengalaman yang bersifat pribad dimana dia – sang Aku, Ku, atau diriku (the I, me, or myself) – menjadi pusat.

2. Manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan dan mengaktualisasikan diri.

3. Individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya.

4. Adnggapan adanya ancapan terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri.

5. Kecenderngan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri.

Teori Behaviorisme

June 1, 2008 by nadiasabrina

TEORI BEHAVIORISME

Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau memperoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.

Prinsip-prinsip teori behaviorisme

- Obyek psikologi adalah tingkah laku

- semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek

- mementingkan pembentukan kebiasaan

Aristoteles berpendapat bahwa pada watu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, seperti sebuah meja lilin yang siap dilukis oleh pengalaman. Menurut John Locke(1632-1704), salah satu tokoh empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai ”warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Idea dan pengetahuan adalah produk dari pengalaman. Secara psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan tempramen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan disebabkan oleh perilaku masa lalu.

Kesulitan empirisme dalam menjelaskan gejala psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedonisme, memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan, dan menghindari penderitaan. Dalam utilitarianismem perilaku anusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman. Bila empirisme digabung dengan hedonisme dan utilitariansisme, maka itulah yang disebut dengan behaviorisme.

Asumsi bahwa pengalaman adalah paling berpengaruh dala pembentukan perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apa pun dengan menciptakan lingkungan yang relevan.

Thorndike dan Watson, kaum behaviorisme berpendirian: organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman dan prilaku digerakan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan.

Edward Edward Lee Thorndike (1874-(1874-1949))

Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi anatara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “connectionism”. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, adal eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan. Thorndike menemukan hukum-hukum.

Hukum kesiapan (Law of Readiness)

Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung diperkuat.

Hukum latihan

Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat.

Hukum akibat

Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibanya tidak memuaskan.

Ivan Petrovich Pavlo (1849-1936)

Teori pelaziman klasik

Adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli yang terkondisi dengan stimuli tertentu yang tidak terkondisikan, yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respons terkondisikan.

Pavlo mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.

Skinner (1904-1990)

Skinner menganggap reward dan rierforcement merupakan factor penting dalan belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal mengontrol tingkah laku. Pda teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. . Operans conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operans yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.

Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli.Bila tidak menunjukkan stimuli maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan

Prinsip belajar Skinners adalah :

- Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat.

- Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.

- Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.

- Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.

- dalam pembelajaran digunakan shapping

Albert Bandura (1925-sekarang)

Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Kaum behaviorisme tradisional menjelaskan bahwa kata-kata yang semula tidak ada maknanya, dipasangkan dengan lambak atau obyek yang punya makna (pelaziman klasik).

Teori belajar Bandura adalah teori belajar social atau kognitif social serta efikasi diri yang menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbale balik yang berkesinambungan antara kognitine perilaku dan pengaruh lingkungan. Factor-faktor yang berproses dalam observasi adalah perhatian, mengingat, produksi motorik, motivasi.

Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka. Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ”mentalistik”.

TEORI KONSPIRASI MANUSIA TEGAK

Judul : Kill!

Diterjemahkan dari : The Straw Men (2002)

Penulis: Michael Marshall

Penerjemah: Ella Elviana

Tebal: 524 hlm; 14 X 21 cm

Terbit: Cetakan 1, Juli 2007

Penerbit: Dastan Books

TEORI KONSPIRASI MANUSIA TEGAK

Michael Marshall -lengkapnya Michael Marshall Smith, adalah penulis asal Inggris yang telah menghasilkan berbagai karya berupa novel, cerita pendek, novella, maupun skenario film. Novel perdana lelaki kelahiran Inggris tahun 1965 ini, Only Forward (1994, yang ditulis menggunakan nama Michael Marshall Smith, telah memenangkan August Derleth Award dan Philip K. Dick Award. Marshall tercatat sebagai penulis yang beberapa kali memenangkan BASF Award (kategori fiksi pendek) dan British Fantasy Award. The Straw Men adalah novel keempat Marshall setelah Only Forward, Spares (1996), dan One of Us (1998).

Edisi Indonesia The Straw Men yang merupakan hasil terjemahan Ella Elviana diterbitkan Penerbit Dastan dengan judul baru, KILL!. Pada sampul depan yang provokatif, ada embel-embel kalimat: EVOLUSI HARUS BERLANJUT. Mereka yang membunuh Akan Terselamatkan. Mereka Yang Tidak, Menjadi Korban...

Kill! dibuka dengan sebuah kejadian berdarah yang terjadi pada 30 Oktober 1991 di sebuah restoran McDonald di Palmerston, Pennsylvania. Di tengah-tengah acara makan siang, dua orang pria menghamburkan peluru dari senapan semiotomatis dan menewaskan 68 orang. Salah satu pembunuh, yang masih remaja, tewas dibunuh oleh pasangannya yang lebih tua, yang segera menghilang pasca kejadian.

Sepuluh tahun kemudian –masa kini dalam novel- seorang mantan agen CIA bernama Ward Hopkins, kembali ke Dyesburg, Montana. Ia datang untuk menghadiri kematian kedua orang tuanya karena kecelakaan mobil. Sehari setelah pemakaman, secara kebetulan, Ward menemukan sebuah novel terselip dalam sofa milik ayahnya, dengan secarik kertas bertuliskan: "Kami tidak mati."

Sementara itu, John Zandt yang telah meninggalkan pekerjaannya sebagai detektif LAPD dan menghabiskan waktunya di Pimonta, Vermont selatan, dikunjungi oleh Nina Baynam, seorang agen FBI. Dua tahun sebelumnya mereka terlibat pengusutan kasus menghilangnya beberapa gadis remaja. Mereka sempat terlibat perselingkuhan sampai akhirnya Karen Zandt, putri John, menjadi korban kelima. John menemukan tersangka penculiknya. Nina datang untuk mengajak Zandt melanjutkan investigasi mereka. Di Santa Monica, seorang gadis remaja bernama Sarah Becker diculik dan hilang bagaikan ditelan bumi. Diduga, penculik yang sama yang dulunya digelari Anak Tukang Kirim (The Delivery Boy) beraksi kembali. Padahal John telah membunuh tersangka penculik gadis remaja yang memproklamasikan namanya sebagai si Manusia Tegak (The Upright Man).

Setelah melakukan penculikan, si Manusia Tegak memiliki kebiasaan mengirimkan sweter dengan sulaman nama korban menggunakan rambut korban sendiri kepada keluarganya. Tapi, Nina menemukan rambut yang digunakan pada sweter Sarah adalah rambut Karen.

Pesan singkat Donald Hopkins membuat Ward terusik dan ingin tahu secara persis peristiwa tabrakan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Sebuah video yang ditemukan dalam VCR milik ayahnya kian mendorong Ward untuk menelisik misteri kematian orang tuanya. Pengusutan Ward yang dibantu temannya, Bobby Nygard, mengantarkannya ke sebuah perumahan eksklusif yang pernah menarik perhatian Donald Hopkins.

Secara tak terduga, dalam kabut kebingungan, Zandt menemukan kunci misteri penculikan dan pembunuhan gadis-gadis itu. Ternyata, si Manusia Tegak tidak bekerja sendirian. Seiring dengan itu, investigasi Ward dan Bobby, menuntun mereka ke dalam dunia sebuah kelompok yang menamakan diri The Straw Men. Selanjutnya, investigasi mereka akan membuhul peristiwa kematian orang tua Ward, penculikan Sarah Becker, dan penyelidikan Nina dan Zandt. Dengan si Manusia Tegak sebagai pengikat.

Masalahnya sekarang, siapa si Manusia Tegak ini? Pengungkapan wajah si Manusia Tegak tidak hanya akan menguliti keberadaan The Straw Men yang ternyata telah lama eksis, tapi juga akan mengelupas rahasia kehidupan Ward yang tidak pernah ia ketahui.

Pada klimaks yang mencekam, ketika semua plot tersimpul menjadi satu dan padu, akan terburai sepenuhnya rencana gila sekelompok manusia yang didasari oleh sebuah teori konspirasi gila.

Hadir dalam 3 bagian besar dengan 37 bab (termasuk prolog dan epilog), sejak awal Michael Marshall telah membuat pembaca bertanya-tanya ke mana plot akan digulirkan. Setelah prolog misterius yang dipaparkan secara terkendali, Marshall membawa pembaca masuk dalam beberapa plot cerita: kehidupan Ward Hopkins dan perjalanan menguak misteri kematian orang tuanya, kehidupan John Zandt dan perjuangannya memecahkan misteri hilangnya gadis-gadis dengan Nina Baynam, juga cerita penculikan Sarah Becker dan interaksinya dengan si Manusia Tegak. Pelan-pelan, di sela-sela kejutan yang dibeberkan, akan tersingkap sesungguhnya semua plot itu saling kelindan. Hanya untuk mencapai simpulnya, pembaca harus sedikit sabar. Karena Marshall bukan pencerita yang terburu-buru.

Cerita digulirkan menggunakan 2 perspektif. Perspektif orang ketiga dan orang pertama. Untuk orang pertama, Marshall menggunakan Ward sebagai narator. Entah pertimbangan apa yang digunakan. Selama membaca novel ini, saya tidak melihat perbedaan signifikan yang muncul lantaran penggunaan teknik ini. Mungkin, Marshall ingin tampil agak beda, dan ini sah-sah saja. Apalagi, cerita tetap bisa dinikmati.

Oleh Marshall, plot kelam rancangannya digelorakan oleh karakter-karakter kuat yang memiliki kehidupan yang problematis. Hasilnya, cerita menjadi lebih menarik karena tidak hanya sepenuhnya membedah kasus yang ada. Tapi juga kehidupan para karakter lebih dalam. Dan yang jelas, dengan tidak menciptakan lanturan.

Kendati wajah si Manusia Tegak telah ditelanjangkan, dilihat dari pakem sebuah novel pada umumnya, kisah dalam novel ini sejatinya memang belum tuntas. Kecuali, Marshall sengaja memberikan penyelesaian cerita seperti itu. Tapi rupanya kisah si Manusia Tegak ini telah dikembangkan Marshall dalam 2 novel berikutnya, The Lonely Dead (judul Amerika, The Upright Man, 2004) dan Blood of Angels (2005) sehingga keseluruhannya menjadi novel trilogi. Dengan demikian, kita berharap, cerita benar-benar akan dituntaskan secara memuaskan.

Embel-embel di bawah judul edisi Indonesia pada sampul depan memang benar-benar menyiratkan isi novel yang saat ini telah dikembangkan menjadi komik berseri. Jadi, tidak mengada-ada atau bombastis. Hanya, untuk memahami maksudnya, mesti membaca novelnya dulu. Embel-embel itu merupakan bagian sebuah teori gila yang tertuang dalam sebuah tulisan bertajuk Manifesto Manusia (Straw Man Manifesto), yang menjadi landasan ideal karakter antagonis utama novel.

Penasaran? Bagaimana kalau Anda baca sendiri?

Catatan-catatan Kecil dari Rahasia Meede

Sungguh lho. Aku sudah super yakin bahwa buku pertama yang akan aku selesaikan pada 2008 ini adalah Kartun Riwayat Peradaban I. Tapi ternyata, karena tugas kantor yang mengharuskanku mewawancarai ES Ito, penulis ‘Rahasia Meede’ dan ‘Negara Kelima’, aku kebutlah mbaca itu buku.

Sebelumnya, aku menyerah sama buku ini pas di halaman 100an karena ‘keringnya’ itu. Ternyata pas Hari H wawancaranya membacanya baru sampai di halaman 260an, dan akhirnya selesai hari Minggu kemarin. Ringkasan ceritanya, ah itu mah jaket bukunya sudah bisa ngasih ya. Jadi, aku kasih catatan-catatan kecil selama membaca ‘Rahasia Meede’ ya…

1. Apakah memang ada yang ‘kenapa-kenapa’ dengan standarku atau memang sebuah cerita yang punya latar penelitian sejarah kuat, ketika dibalut dalam bentuk fiksi seperti ‘Meede’, jadi harus ‘mengorbankan’ karakterisasi?

Maksudnya, baik Kalek, Batu, Cathleen, Lusi, Rian, dan banyak lainnya itu memang terasa idealismenya apa, emosi mereka sedang gimana, tapi semuanya karena dikasih tahu si penulis. Ya, oke, memang mereka ciptaan penulisnya, tapi kenapa aku merasa karakter-karakter ini tidak lebih dari potongan kardus sosok manusia (seperti yang dipakai buat iklan produk itu lhooo…) dan ditempeli pamflet.

Dua dimensi aja terasanya, bukan manusia dengan segala emosinya WALAUPUN si penulis mendeskripsikan gamblang apa yang mereka rasakan. Hasilnya, aku jadi tidak peduli dengan apa yang terjadi sama si karakter-karakter ini sebagai manusia.

Yang membuatku masih terus membolak-balik halaman sampai akhirnya selesai, lebih karena teka-teki aja. Dan nggak ada tuh apa-apa yang aku rasakan ketika ada karakternya yang mati. Walaupun karakter-karakternya lagi marah, sedih, bingung, kesal, senang, takut, teriak, hancur, apalah, semuanya dataaaar aja kerasanya. Benar-benar flat. Asystole.

Saking datarnya, sampai-sampai di halaman 520an aku harus berhenti dan ‘do a complete 180′, menghubungkan diri ke sesuatu yang berurusan banyak dengan hati–sesuatu yang lebih aku sukai–nonton ‘Becoming Jane’ (Bukan karena filmnya digarap lebih dengan hati dibanding ‘Rahasia Meede’, tapi karena temanya yang memang berfokus pada emosi manusia. Dan Anne Hathaway ternyata memberi penampilan yang lebih dari sekedar ’sesuatu yang bisa dimaafkan. Tapi oke, akan aku buat posting berikutnya tentang film itu).

Selesai dengan urusan nangis-nangis dan hati yang diremas-remas di ‘Becoming Jane’, kembali lagi dan menyelesaikan ‘Rahasia Meede’ yang datar. Catatan selanjutnya:

2. Entah di halaman berapa, tapi sepertinya sudah bagian akhir-akhir ketika lokasi berpindah ke sebuah pulau bekas karantina jemaah haji di utara Jakarta (bukan spoiler kan?), aku berpikir: Harus ada orang yang membisniskan paket tur ‘Rahasia Meede’ nih, sama kayak paket tur Da Vinci Code.

Tapi, tiba-tiba aku teringat pada kutipan dari film ‘2 Days in Paris‘. Salah satu karakternya, Jack (Adam Goldberg) ditanyai arah jalan oleh serombongan turis asal Amerika. Jack, yang memang sedang jahat dan tidak tahu Paris, menjawab asal-asalan dengan meyakinkan biar si rombongan turis ini keluar dari antrian taksi. Ketika pacarnya, Marion (Julie Delpy) muncul dan mengetahui apa yang dilakukan Jack, Jack menanggapinya dengan, “They’re here on a Da Vinci Code tour, they voted for Bush and Cheney, they are what’s culturally and politically wrong in this world.” (aku cukup yakin 75 persen dengan kutipan ini)

Marion: “You’re so mean. But that’s so truuueee.”

Hahaha.

Oke, oke, tidak bermaksud mengatakan bahwa Meede akan jadi bagian dari what’s culturally wrong, tapi entah kenapa tiba-tiba aku teringat akan kutipan itu saat memikirkan tentang paket tur Meede seperti paket tur Da Vinci Code.

Walaupun sebenarnya, cerita tentang Meede dan Clusse dan Pieter Erberveld sudah beberapa kali aku dengar saat ikut beberapa kali tur keliling Jakarta Kota. Tapi sekarang ada tambahan info tentang kejadian-kejadian itu.

Yang ketiga….*SPOILER ALERT*SPOILER ALERT*

3. Salah satu karakter ‘utama’ kamu matikan, tapi tetap menghidupkan semangat anarkinya lewat meneruskan keturunan? Oh, please. Itu kayaknya trik yang pernah digunakan sebelumnya deh. Memang pengulangan trik di beberapa karya berbeda bukan sesuatu yang haram (atau sebenarnya haram dan kita sering berlindung di bawah ungkapan ‘nggak ada yang baru di bawah sinar matahari’?), tapi pengulangan trik ini tidak membawa efek apa-apa gitu.

*AKHIR SPOILER ALERT*AKHIR SPOILER ALERT*

4. Masih tentang karakter. Mungkin seharusnya digabung dengan nomor satu, tapi sepertinya lebih enak dipisah daripada terlalu panjang. Ada yang merasa nggak kalau karakternya, ketika menjadi idealis atau mengungkapkan pikiran-pikiran idealisnya, terasa identik? Bahwa semuanya ES Ito.

Oke, mungkin karakter adalah anak-anak ciptaan si penulisnya, tapi semuanya jadi terasa seperti orang yang sama. Bukan anak malah. Tapi jadi klon.

Kadang, malah, di tengah deskripsi suasana, deskripsi karakter, ada umpatan kekesalan akan zaman yang menyelusup yang membuatku bertanya, ini yang ngomong siapa sih? Ya memang dari penulisnya sih. Dan ini penilaian yang sangat pribadi ketika aku bilang, tolong, jangan menceramahiku dong.

Tapi gara-gara bagian ini juga aku jadi mengerti tentang apa yang dimaksud di bab pertama The Rhetoric of Fiction tentang sudut pandang. Itu buku teknik penulisan pertama yang aku baca, gara-gara Scott Esposito di Conversational Reading membacanya tahun lalu. Aku nggak nyangka ada orang lain yang sudah atau bakal membaca buku itu, karena aku punya buku bekasnya sejak 3 tahun lalu yang belum disentuh-sentuh, hehe. (Dan hey, ternyata dia berencana memrioritaskan ‘The Mill on the Floss’ untuk 2008. He’s MY kinda guy..)

Terakhir, tapi sepertinya mungkin tidak perlu ya…karena kita cukup sepakat kan totalitas ES Ito dalam meneliti bahan untuk buku ini tidak setengah-setengah?

First impression atau kesan pertama merupakan senjata ampuh yang banyak digunakan oleh seorang publik speaking. Dimana setidaknya ada kesadaran yang harus dibangun dari seseorang yang memiliki pekerjaan sebagai publik speaking bahwa First Impression itu sangatlah penting. Lebih jauh lagi kita akan mengkhususkan kepada seorang Publik Relation.

kesan pertama atau first impression yang baik merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Cara kita berbicara dan memilih pemakaian kata, cara kita bersikap, kepercayaan diri kita serta perilaku kita merupakan sebagian besar faktor yang dapat menciptakan kesan pertama.

Sebelumnya mari kita melihat pemaparan teori Proses Pembentukan Kesan oleh Jalaludin Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi)

1. Stereotyping

Ketika seseorang menghadapi sosok-sosok dengan beraneka ragam perilaku, maka seseorang tersebut akan mengkategorikan mereka pada konsep-konsep tertentu; cerdas, tampan, bodoh, cantik, berwibawa, dll. Dengan begitu seseorang ini lebih mudah menyederhanakan persepsi yang lahir dari prilaku Orang lain yang menjadi objek penilaiannya.

Menurut Jalaludin Rahmat, dalam psikologi kognitif pengalaman-pengalaman baru akan dimasukkan kedalam laci kategori yang ada dalam memorinya, berdasarkan kesamaan dengan pengalaman indra masa lalu. Sehingga dengan cepat seseorang tersebut dapat meramalkan dan menyimpulkan stimulus yang baru baginya. Contoh kasus;

Ia-lah Adi, lelaki yang dilihat Hani disebuah pelataran salah satu Partai garis depan bangsa ini sore itu, di atas sebuah podium, sedang memberikan sekelumit kata-kata bijaksana kepada puluhan bahkan ratusan simpatisan partai tersebut, termasuk pula Hani di dalamnya. Adi mengenakan Kemeja Dinas Lapangan berwarna putih dipadu celana kain yang tak kalah putih bersinarnya sore itu. Ia Menggebu-gebu, tapi sesekali nadanya menurun rendah saat nilai kemanusiaan bangsa ini dibicarakan ia pun mengkombinasikannya dengan gerak memegang kacamata merk Italianya itu seakan ada air yang jatuh dari kelopak matanya serupa air mata. Sang Adi pun mengakhiri Pidotanya dengan Sebuah puisi Perjuangan. Maka, tak dapat dihindari lagi Riuhlah suasana di pelataran partai tersebut, dari gema tepuk tangan para simpatisan. Termasuk pula Hani diantara mereka.

Maka, kesan pertama terbentuk. Kesimpulan sementara Hani terhadap Adi ialah Adi seorang Politisi, tinggi pemaknaan dan perhitungannyanya terhadap kehidupan khalayak, cerdas, Elegan dan lagi berwibawa. Apabila Hani pernah menonton Film G30s PKI Jaman orde baru. Maka tak disangsikan lagi adi serupa dengan politisi-politisi Jaman itu. DN. Aidit atau Muso, atau pula Soe Hok Gie pada film GIE oleh Miles Production.

Stereotyping menjelaskan 2 hal. Pertama, pembentukan “kesan pertama” Hani terhadap Adi. kesan itulah yang akan menentukan pengkategorian dalam otak Hani. Kedua, stimuli yang Hani senangi atau tidak senangi telah mendapat kategori tertentu yang positif ataupun negatif dan ia akan memasukkan kategori tersebut pada memori kategori yang positif atau negatif pula. Tempat semua sifat-sifat yang positif atau negatif. Setelah itu barulah Hani menyimpulkan Adi seorang Politisi, tinggi pemaknaan dan perhitungannyanya terhadap kehidupan khalayak, cerdas, Elegan dan lagi berwibawa.

2. Implisit Personality Theory

Setiap manusia mempunyai konsep sendiri tentang sifat-sifat apa berkaitan dengan sifat-sifat apa?. Pacaran, meliputi konsep-konsep perhatian, mesra, toleransi, memiliki dll. Begitu pula terhadap kisah Adi dan Hani.

Suatu hari Adi membawakan sebuah materi kepada Anggota baru Partainya tentang pandangan dunia. Ada pula Hani ikut serta. Dengan nada rendah tapi terarah Adi terus melangit dengan kata-kata yang belum akrab ditelinga Anggota baru, sehingga beberapa terpesona, Hani pula didalamnya. Setelah itu, ditengah-tengah materinya Adi pamit sebentar untuk Shalat, maka bertambahlah poin Adi dimata Hani. Sifat Shalat lazimnya diikuti oleh sifat-sifat jujur, saleh, bermoral tinggi, dll. Padahal kesimpulan tersebut belum tentu benar.

Implisit Personality theory adalah sebuah konsepsi yang tak butuh diungkapkan. Karena dalam prosesnya ia berlangsung secara alamiah, berdasarkan pengalamannya selama ada dalam kehidupan.

3. Atribusi

Atribusi adalah proses menyimpulakan motif, maksud dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilaku yang tampak. (Baron & Byrne, 1979:56)

Selanjutnya kita akan bertanya “Ada apa dibalik itu semua?”

Adi dan Hani memang jarang berinteraksi secara langsung. Pernah suatu ketika, ditengah keramaian, penulis mencoba mengamati perilaku mereka berdua. Sesekali Adi melirik Hani, dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut terjadi berkali-kali hingga akhirnya mereka bertemu pandang. Apa yang terjadi? Adi menatap Hani tajam, sementara Hani spontan tertunduk, tersenyum simpul, dan tersipu malu dibalik wajahnya yang mulai memerah.

Terbesit pertanyaan dalam hati Hani. Ada apa dengan Kakak Adi yang kubanggakan?

Pemaparan tentang teori “Proses Pembentukan Kesan” Jalalludin Rakhmat diatas setidaknya membuktikan bahwa Kesan pertama itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan Kesan dalam diri seseorang untuk orang lain.

Jadi hal ini sudah sangat cukup untuk membuktikan bagaimana pentingnya kesan pertama itu sebagai sebuah senjata dalam melakukan komunikasi dengan orang lain. Gerak tubuh dan kepekaan, Penampilan, Raut wajah, kontak mata, fokus pada masalah dan cara penyampaian yang tepat situasi dan kondisi merupakan beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh seorang Public Relations.

Sikap terbuka (open mindedness) amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi yang efektif. Lawannya: dogmatisme.

Mari kita lihat bagaimana karakteristik orang yang bersikap terbuka dikontraskan dengan karakteristik orang tertutup (dogmatis) yang saya ramu dari buku Psikologi Komunikasi - nya Jalaluddin Rahmat, dalam daftar berikut ini.

Sifat Orang Yang Terbuka

Pertama, seorang yang bersifat terbuka biasanya menilai pesan secara obyektif, dengan menggunakn data dan keajegan logika.

Kedua, orang terbuka rata-rata lebih mampu membedakan sesuatu dengan mudah, mampu melihat nuansa-nuansa.

Ketiga, orang yang bersifat terbuka lebih banyak berorientasi pada isi (content) ketimbang orangnya, bungkus atau polesan-polesannya.

Keempat, orang ini mau mencari informasi dari berbagai sumber, tidak hanya puas dengan satu nara sumber.

Kelima, ia lebih profesional dan bersedia tanpa malu-malu dan tanpa khawatir bersedia untuk mengubah kepercayaannya, keyakinannya, pendapatnya, jika memang itu terbukti salah.

Sifat Mereka Yang Tertutup

Pertama, ia suka menilai pesan berdasarkan motif pribadi. Orang dogmatis tidak akan memperhatikan logika suatu proposisi, ia lebih banyak melihat sejauh mana proposisi itu sesuai dengan dengan dirinya. Argumentasi yang obyektif, logis, cukup bukti akan ditolak mentah-mentah. “Pokoknya aku tidak percaya” begitu sering diucapkan orang dogmatis. Setiap pesan akan dievaluasikan berdasarkan desakan dari dalam diri individu (inner pressures). Rokeach menyebut desakan ini, antara lain, kebiasaan, kepercayaan, petunjuk perseptual, motif ego irasional, hasrat berkuasa, dan kebutuhan untuk membesarkan diri. Orang dogmatis sukar menyesuaikan dirinya dengan perubahan lingkungan.

Kedua, cara berpikirnya simplistis. Bagi orang dogmatis, dunia ini hanya hitam dan putih, tidak ada kelabu. Ia tidak sanggup membedakan yang setengah benar setengah salah, yang tengah-tengah. Baginya kalau tidak salah, ya benar. Tidak mungkin ada bentuk antara. Dunia dibagi dua: yang pro-kita dimana segala kebaikan terdapat, dan kontra-kita dimana segala kejelekan berada.

Ketiga, lebih banyak berorientasi pada sumber. Bagi orang dogmatis yang paling penting ialah siapa yang berbicara, bukan apa yang dibicarakan. Ia terikat sekali pada otoritas yang mutlak. Ia tunduk pada otoritas, karena seperti umumnya orang dogmatis ia cenderung lebih cemas dan mempunyai rasa tidak aman yang tinggi.

Keempat, kalau ia mencari informasi ia akan mencari dari sumber-sumbernya sendiri. Orang-orang dogmatis hanya mempercayai sumber informasi mereka sendiri. Mereka tidak akan meneliti tentang orang lain dari sumber yang lain. Pemeluk aliran agama yang dogmatis hanya mempercayai penjelasan tentang keyakinan aliran lain dari sumber-sumber yang terdapat pada aliran yang dia anut.

Kelima, secara kaku mempertahankan dan membela sistem kepercayaannya. Berbeda dengan orang terbuka yang menerima kepercayaannya secara provisional, orang dogmatis menerima kepercayaannya secara mutlak. Orang dogmatis kuatir, bila satu butir saja dari kepercayaanya yang berubah, ia akan kehilangan seluruh dunianya. Ia akan mempertahankan setiap jengkal dari wilayah kepercayaanya sampai titik darah penghabisan.

Dan yang terakhir, ia tak mampu membiarkan inkonsistensi. Orang dogmatis tidak tahan hidup dalam suasana inkonsisten. Ia menghindari kontradiksi atau benturan gagasan. Informasi yang tidak konsisten dengan desakan dari dalam dirinya akan ditolak, didistorsi, atau tidak dihiraukan sama sekali.

Nah, agar komunikasi interpersonal yang kita lakukan melahirkan hubungan interpersonal yang efektif, dogmatisme harus digantikan dengan sikap terbuka. Tentu, bersama-sama dengan sikap percaya dan sikap sportif. Sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling menghargai, dan –yang paling penting- saling mengembangkan kualitas hubungan kita sendiri.

Bagaimana menurut Anda?

Faktor-faktor Personal yang Mempengaruhi Perilaku Manusia

September 17, 2007 in Psikologi Komunikasi

Dewasa ini ada dua macam psikologi sosial. Yang pertama adalah Psikologi sosial (dengan huruf P besar) dan yang kedua psikologi Sosial (dengan huruf S besar).. Ini menunjukkan dua pendekatan dalam pslkologi , sosial: ada yang menekankan faktor-faktor psikologis dan ada yang menekankan faktor-faktor sosial; atau dengan istilah lain: faktor-faktor yang timbul dari dalam diri individu (faktor personal), dan faktor-faktor berpengaruh yang datang dari luar diri individu (faktor environmental).

Manakah di antara dua pendapat ini yang benar - dengan menggunakan istilah Edward E. Sampson (1976) - antara perspektif yang berpusat pada persona (person-centered perspective) dengan perspekt{f yang berpusat pada situasi (situation-centered perspective). Seperti juga konsepsi tentang manusia, yang benar tampaknya interaksi di antara keduanya. Karena itu, kita akan membahasnya satu per satu, dimulai dengan perspektif yang berpusat pada persona.

Perspektif yang berpusat pada persona mempertanyakan factor-faktor internal apakah, baik berupa sikap, instink, motif, kepribadian, sistem, kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis besar ada dua faktor: faktor biologis dan faktor sosiopsikologis.

Faktor Biologis

Manusia adalah makhluk biologis yang tidak berbeda dengan hewan yang lainnya. Ia lapar kalau tidak makan selama dua puluh jam, kucing pun demikian. Ia memerlukan lawan jenis untuk kegiatan reproduktifnya, begitu pula kerbau. Ia melarikan diri kalau melihat musuh yang menakutkan, begitu pula monyet. Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Bahwa warisan biologis manusia menentukan perilakunya, dapat diawali sampai struktur DNA yang menyimpan seluruh memori warisan biologis yang diterima dari kedua orang tuanya. Begitu besarnya pengaruh warisan biologis ini sampai muncul aliran baru, yang memandang segala kegiatan manusia, termasuk agama, kebudayaan, moral, berasal dari struktur biologinya. Aliran ini menyebut dirinya sebagai aliran sosiobiologi (Wilson, 1975).

Ada beberapa peneliti yang menunjukkan pengaruh motif biologis terhadap perilaku manunusia. Tahun 1950 Keys dan rekan-rekannya menyelidiki pengaruh rasa lapar, Selama 6 bulan, 32 subjek bersedia menjalani eksperimen setengah lapar. Selama eksperimen terjadi perubahan kepribadian yang dramatis. Mereka menjadi mudah tersinggung, sukar bergaul, dan tidak bisa konsentrasi. Pada akhir minggu ke-25, makanan mendominasi pikiran, percakapan, dan mimpi. Laki-laki lebih senang menempelkan gambar coklat daripada gambar wanita cantik. Kekurangan - tidur juga telah dibuktikan rneningkatkan sifat mudahtersinggung clan tugas-tugas yang kompleks atau memecahkan persoalan. Kebutuhan.akan rasa aman, menghindari rasa sakit, dapat menghambat kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Walaupun demikian, Manusia bukan sekadar makhluk biologis. Kalau sekadar makhluk bialogis, ia tidak berbeda dengan binatang yang lain. Kura-kura Galapagos yang hidup sejak sekian ribu tahun yang lalu bertingkah laku yang sama sekarang ini. Tetapi, perilaku orang Jawa di zaman Diponegoro.sudah jauh berbeda dengan perilaku mereka di zaman Suharto. Menurut Marvin Harris, antropolog terkenal dari University of Florida, agak sukar kita menjelaskan perubahan kultural ini pada sebab-sebab biologis (Rensberger, Dialogue, 1/1984:38). Ini hanya dapat dijelaskan dengan melihat komponen-komponen lain dari manusia; yakni faktorfaktor sosiopsikologis.

Faktor faktor Sosiopsikologis

Karena manusia makhluk sosial, dari proses sosial ia memperoleh bcberapa karakteristik yang mcmpengarahi perilakunya: Kita dapat mengklasifikasinya ke dalam tiga kamponen komponen afektif, komponen kognitif, dan kornpwren konatif. Komponen yang pertama> yang merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya. Komponen kognitif adalah aspek intelektual, yang berkaitan -dengan apa yang diketahui manusia. Komporten konatif adalah aspek volisional, ymg berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Kita mulai dengan komponen afektif yang terdiri dari motif sosiogenis, sikap dan emosi.

Motif Sosiogenesis

Motif sosiogenis, sering juga disebut motif sekufider sebagai lawan motif primer (motif biologis), sebetulnya bukan motif “anak bawang”. Peranannya dalam membentuk perilaku sosial bahkan sangat menentukan. Berbagai klasifikasi motif sosiogenis disajikan di bawah.

W . I. Thomas dan Florian Znaniecki:

l. Keinginan memperoleh pengalaman baru;

2. Keinginari untuk mendapat respons;

3. Keinginan akan pengakuati;

4. Keinginan akan rasa amab:

David McCleiland:

l . Kebutuhatt berprestasi(need for achieveinent);

2. Kebutuhan akan kasih sayaag (need for afflliation);

3. Kebutuhan berkuasa (need for power);

Abraham Maslow:

1. Kebutuhan akan rasa aman (safety needs);

2. Kebutuhan akan keterikatan dan cinta (belongingness and love needs);

3. Kebutuhan akan Fengbortik(esteent needs)

4. Kebutuhan untuk pemenuban diri (Self –actualization)

Melvin H. Marx:

1. Kebutuhan organismis

-motif ingin tahu

- motif kompetensi

- motif prestasi

2. Motif-motif social

- motif kasih sayang

- motif kekuasaan

- motif kebebasan

Secara singkat, motif-motif sosiogenesis dapat disebutkan sebagai berikut,

1. Motif ingin tahu.

Mengerti, menata dan menduga. Setiap orang berusaha mengerti (memahami) arti dari dunianya. Kita memerlukan kerangka rujukan (frame of freference) untuk mengevaluasi situasi baru dan mengarahkan tindakan yang sesui.

2. Motif kompetensi.

Setiap orang ingin membuktikan bahwaia mampu mengatasi persoalan apapun. Perasaan mampu amat bergantung pada perkembangan intelektual, sosial, dan emosional.

3. Motif cinta

Sanggup mencintai dan dicintai adalah hal esensial bagi pertumbuhan kepribadian. Orang ingin diterima di dalam kelompoknya sebagai anggota sukarela dan bukan yang sukar rela.

4) Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari indentitas.

Erat kaitannya dengan kebutuhan untuk memperlihatkan kemampuan dan memperoleh kasih sayang, ialah kebutuhan untuk menunjukkan eksistensi di dunia. Kita ingin kehadiran kita bukan saja dianggap bilangan, tetapi juga diperhitungkan. Karena itu, bersamaan dengan kebutuhan akan harga diri, orang mencari identitas dirinya. Hilangnya identitas diri akan menimbulkan perilaku yang patologis (penyakit): impulsif, gelisah, mudah terpengaruh, dan sebagainya.

5) Kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna kehidupan.

Dalam menghadapi gejolak kehidupan, manusia membutuhkan nilai-nilai untuk menuntunnya dalam mengambil keputusan atau memberikan makna pada kehidupannya. Termasuk ke dalam motif ini ialah motifmotif keagamaan. Bila manusia kehilangan nilai, tidak tahu apa tujuan hidup sebenarnya, ia tidak memiliki kepastian untuk bertindak. Dengan demikian, ia akan lekas putus asa dan kehilangan pegangan.

6)Kebutuhan akan pemenuhan diri.

Kita bukan saja ingin mempertahankan kehidupan, kita juga ingin meningkatkan kualitas kehidupan kita; ingin memenuhi potensi-potensi kita. Dengan ucapan Maslow sendiri. “What a man can be, he must be.” Kebutuhan akan pemenuhan diri dilakukan melalui berbagai bentuk: (1) mengembangkan dan menggunakan potensi-potensi kita’ dengan cara yang kreatif konstruktif, misalnya dengan seni, musik, sains, atau hal-hal yang mendorong ungkapan diri yang kreatif; (2) memperkaya kualitas. kehidupan dengan memperluas rentangan dan kualitas pengalaman serta pemuasan, misalnya dengan jalan darmawisata; (3) membentuk hubungan yang hangat dan berarti dengan orang-orang lain di sekitar kita; (4) berusaha “memanusia”, menjadi persona yang kita dambakan (Coleman, 1976:105).

Daftar motif secara terperinci akan disajikan pada bab 6 ketika kita membicarakan imbauan motif.

Sikap

Sikap adalah konsep yang paling penting dalam psikologi sosial dan yang paling banyak didefinisikan. Ada yang menganggap sikap hanyalah sejenis motif sosiogenis yang diperoleh melalui proses belajar (Sherif dan Sherif, 1956:489): Ada pula yang melihat sikap sebagai kesiapan saraf (neural settings) sebelum memberikan respons (Allport, 1924). Dari berbagai definisi kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam

menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Jadi, pada kenyataannya tidak ada istilah sikap yang berdiri sendiri. Sikap haruslah diikuti oleh kata “terhadap”, atau “pada” objek sikap. Bila ada orang yang berkata, “Sikap saya positif,” kita harus mempertanyakan “Sikap terhadap apa atau siapa?”

Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekadar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu; menentukan apa yang disukai, diharap–kan, dan diinginkan; mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari (Sherif dan Sherif, 1956:489). Bila sikap saya positif terhadap ilmu, saya akan setuju pada proyek-proyek pengembangan ilmu, berharap agar orang menghargai ilmu, dan menghindari orang-orang yang meremehkan ilmu.

Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Berbagai studi menunjukkan bahwa sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang merigalami perubahan.

Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan, sehingga Bern memberikan definisi sederhana: “Attitudes are likes and dislikes.” (1970:14)

Kelima, sikap timbul dari pengalaman; tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah. Beberapa orang sarjana menganggap sikap terdiri dari komponen kognitif, afektif, dan behavioral.

Emosi

Emosi menunjukkan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejalagejala kesadaran, keperilakuan, dan proses fisiologis. Bila orang yang Anda cintai menaemoohkan Anda, Anda akan bereaksi secara emosional karena Anda mengetahui makna vemoohan itu (kesadaran). Jantung Anda akan berdetak lebih cepat, kulit memberikan respons dengan mengeluarkan keringat, dan aapas terengah-engah (proses fisiologis). Anda mungkin membalas cemoohan itu dengan kata-kata keras atau ketupat bangkahulu (keperilakuan).

dan lainnya (silahkan membaca bukunya :P hehe)

Konsepsi Psikologi tentang Manusia

September 16, 2007 in Psikologi Komunikasi

Banyak teori dalam komunikasi yang dilatar belakangi konsepsi-konsepsi psikologi tentang manusia. Teori-teori persuasi sudah lama menggunakan konsepsi psikoanalisis yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang digerakan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens). Teori ”jarum hipodermik” (yang menyatakan media masa sangat berpengaruh) dilandasi konsepsi behaviorisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang digerakan semaunya oleh lingkungan (Homo Mechanicus). Teori pengolahan informasi jelas dibentuk oleh konsepsi psikologi kognitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens). Teori-teori komunikasi intrapersonal banyak dipengaruhi konsepsi psikologi humanistik yang mengambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya (Homo Ludens).

Konsepsi Manusia dalam psikoanalisis

Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, adalah orang yang pertama berusaha merumuskan psikologi manusia. Ia memfokuskan perhatiannya pada totalitas kepribadian manusia, bukan pada bagian-bagian yang terpisah (Asch, 1959\; 17). Menurut Freud, perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia Id, Ego dan Superego.

Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia—pusat instink (hawa nafsu—dalam kamus agama). Ada dua instink dominan: (1) Libido—instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif; (2) Thanatosos—instink destruktif dan agresif. Yang pertama disebut juga instink kehidupan (eros), yang dalam konsep freud bukan hanya meliputi dorongan seksual, tetapi juga semua yang mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan pada Tuhan, dan cinta diri (narcism).

Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin segera memenuhi keinginannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia.

Subsistem yang kedua—ego—berfungsi menjembatani tuntutan id dengan realitas dunia luar. Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu menundukan hasrat hewaninya. Ia bergerak berdasarkan prinsip realitas (reality principle).

Superego adalah polisi kepribadian, mewakili yang ideal.Superego adalah hati nurani (conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Ia memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam bawah sadar.

Secara singkat, dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (ego), dan komponen sosial (superego); atau unsur animal, rasional, dan moral (hewani, akali, dan nilai).

Konsepsi Manusia dalam Behaviorisme

Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap intropeksionisme (yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subyektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara alam bawah sadar yang tidak tampak). Behaviorisme ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, behaviorisme lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku manusia—kecuali instink—adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui sebagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.

Konsepsi Manusia dalam Psikologi Kognitif

Ketika asumsi-asumsi Behaviorisme diserang habis-habisan pada akhir tahun 60-an dan awal tahun 70-an, psikologi sosial bergerak kearah paradigma baru. Manusia tidak lagi dipandang sebagaimakhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, tetapi sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya: makhluk yang selalu berpikir (Homo Sapiens).

Kaum rasionalis memertanyakan apakah betul bahwa penginderaan kita, melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Kemampuan alat indera kita dipertanyakan karena seringkali gagal menyajikan informasi yang akurat.

Descartes, juga Kant, menyimpulkan bahwa jiwalah (mind) yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan alat indera. Jiwa menafsirkan pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima.

Rasionalisme ini tampak jelas pada aliran psikologi Gestalt di awal abad XX. Para psikolog Gestalt, seperti juga kebanyakan psikoanalis, adalah orang-orang Jerman: Meinong, Ehrenfels, Kohler, Wertheimer, dan Koffka. Menurut mereka, manusia tidak memberikan resp, ns kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respons, manusia menangkap dulu “pola” stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna.

Mula-mula psikologi Gestalt hanya menaruh perhatian pada persepsi obyek. Beberapa orang menerapkan prinsip-prinsip Gestalt dalam menjelaskan perilaku sosial. Di antara mereka adalah Kurt Lewin, Solomon Asch, dan Fritz Heider

Heider dan Festinger membawa psikolagi kognitif ke dalam psikologi sosial. Secara singkat kita akan melihat perkembangan pengaruh psikologi kognitif ini dalam psikologi sosial, terutama untuk menggambarkan perkembangan konsepsi manusia dalam mazhab ini.

Kenyataan menunjukkan bahwa manusia tidaklah serasional dugaan di atas. Seringkali malah penilaian orang didasarkan pada informasi yang tidak lengkap dan kurang begitu rasional. Penilaian didasarkan pada data yang kurang, lalu dikombinasikan dan diwarnai oleh prakonsepsi. Manusia menggunakan prinsip-prinsip umum dalam menetapkan keputusan. Kahneman dan Tversky (1974) menyebutnya “cognitive heuristics” (dalil-dalil kognitif). Ada orang tua yang segera gembira ketika anaknya berpacaran dengan mahasiswa ITB, karena berpegang pada “cognitive heuristics” bahwa mahasiswa ITB mempunyai masa depan yang gemilang (tanpa memperhitungkan bahwa pacar anaknya adalah mahasiswa seni rupa yang meragukan masa depannya). Dari sini rnuncullah konsepsi Manusia sebagai Miskin Kognitif (The Person as Cognitive Miser).

Walaupun psikologi kognitif sering dikritik karena konsep-konsepnya sukar diuji, psikologi kognitif telah memasukkan kembali “jiwa” manusia yang sudah dicabut oleh behaviorisme. Manusia kini hidup dan mulai berpikir. Tetapi manusia bukan sekadar makhluk yang berpikir, ia juga berusaha menemukan identitas dirinya dan mencapai apa yang didambakannya. Sampai di sini, psikologi kognitif harus memberikan tempat dan waktu buat “penceramah” berikutnya: psikologi humanistik.

Manusia dalam Konsepsi Psikologi Humanistik

Psikologi humanistik dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi. Revolusi pertama dan kedua adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Pada behaviorisme manusia hanyalah mesin yang dibentuk lingkungan, pada psikoanalisis manusia melulu dipengaruhi oleh naluri primitifnya. Dalam pandangan behaviorisme manusia menjadi robot tanpa jiwa, tanpa nilai. Dalam psikoanalisis, seperti kata Freud seridiri, “we see a man as a savage, beast” (1930:86). Keduanya tadak menghormati manusia sebagai manusia. Keduanya tidak dapat menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan, seperti cinta, kreativitas, nilai, makna, dan pertumbuhan pribadi. Inilah yang diisi oleh psikologi humanistik. “Humanistic psychology’is not just the study of ‘human being- it is a commitment to human becoming, “tulis Floyd W. Matson (1973:19) yang agak sukar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Psikologi humanistik mengambil banyak dari psikoanalisis NeoFreudian (sebenarnya Anti-Freudian) seperti Adler, Jung, Rank, Slekel, Ferenczi; tetapi lebih banyak lagi mengambil dari fenomenologi dan eksistensialisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia kehidupan” yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Setiap , orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. “Alam pengalaman setia orang berbeda dari alam pengalaman orang lain.” (Brouwer, 1983:14 Fenomenologi banyak mempengaruhi tulisan-tulisan Carl Rogers, yang boleh disebut sebagai-_Bapak Psikologi Humanistik.

Carl Rogers menggarisbesarkan pandangan Humanisme sebagai berikut (kita pinjam dengan sedikit perubahan dari Coleman dan Hammen, 1974:33):

1) Setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi di marxa dia — sang Aku, Ku, atau diriku (the I, me, or myself) - menjadi, pusat: Perilaku manusia berpusat pada konsep diri, yaitu persepsi rnanusia tentang identitas dirinya yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah, yang muncul dari suatu medan fenomenal (phenomenal field). Medan keseluruhan pengalarnan subjektif seorang manusia, yang terdiri dari pengalaman-pengalaman Aku dan Ku dan pengalaman yang “bukan aku”.

2) Manusia berperilaku untuk~mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri.

3) individu bereaksi pada situasi sesuai dengdn persepsi ren¢ang dirinya dan dazrYianya — ia bereaksi pada “realitas” seperti yang dipersepsikan olehnya dan dengan cara yang sesuai dengan konsep dirinya.

4) Anggapan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri — berupa penyempitan dan pengkakuan (rigidification) persepsi dan perilaku penyesuaian serta penggunaan mekanisme pertahanan ego seperti rasionalisasi.

5) Kecenderungan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri. Dalam kor.disi yang normal ia berperilaku rasional dan konstruktif, serta rnemilih jalan menuju pengembangan dan aktualisasi diri.

Catatan: Artikel ini disarikan dari buku “Psikologi Komunikasi” karangan Jalaludin Rakhmat.

Karakteristik manusia Komunikan

September 15, 2007 in Psikologi Komunikasi

Di balik bayangan

Pemeran utama dalam proses komunikasi adalah manusia. Sebagai psikolog, memandang komunikasi justru pada perilaku manusia komunikan. Tugas ahli linguistiklah untuk membahas komponen-komponen yang membentuk struktur pesan. Tugas ahli tekniklah untuk menganalisa berapa banyak “Noise” terjadi di jalan sebelum pesan sampai pada komunikate, dan berapa banyak pesan yang hilang.

Psikolog mulai masuk ketika membicarakan bagaimana manusia memproses pesan yang diterimanya, bagaimana cara berpikir dan cara melihat manusia dipengaruhi oleh lambang-lambang yang dimiliki. Fokus psikologi komunikasi adalah manusia komunikan. Karena itu, penting lebih dahulu kita mengenal diri kita, mencoba menjawab: Makhluk apa kita ini? Faktor-faktor apa yang mengendalikan kita ini?

Dalam hal ini, kita akan membicarakan konsep psikologi tentang manusia—Suatu landasan teoretis untuk studi-studi psikologi komunikasi selanjutnya. Segera setelah itu, bab ini akan membicarakan faktor-faktor personal dan situasional yang mempengaruhi perilaku manusia.

catatan: artikel ini disarikan dari buku “psikologi komunikasi” karangan Jalaludin Rakhmat

Tidak ada komentar: