Senin, 09 Februari 2009

SANTRI VS ABANGAN

”Santri Abangan”

Istilah santri dan abangan itu sebenarnya berasal dari kita juga, tapi lewat Geertz-lah ia jadi terkenal. Saya juga membaca karya dia yang juga penting dan diterjemahkan Gramedia dengan judul, Penjaja dan Raja (Paddlers and Princes).

Antropolog Amerika yang cukup lama meneliti di Indonesia, Clifford Geertz, mangkat (31/10) dengan meninggalkan beberapa karya antropologis tentang Islam di Indonesia. Seberapa relevan pandangan-pandangannya untuk melihat perkembangan Islam Indonesia dewasa ini? Berikut perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis lalu (7/11), dengan M. Dawam Rahardjo, Ihsan Ali-Fauzi, dan Hamid Basyaib.

Mas Dawam, bisa Anda ceritakan bagaimana pertama kali Anda berkenalan dengan karya-karya Clifford Geertz?

Buku Geertz yang berjudul The Religion of Java, untuk pertama kali diterbitkan versi terjemahannya (oleh almarhum Aswab Mahasin) di Indonesia oleh LP3ES. Saya menganggap buku itu penting walau waktu itu masih banyak yang belum mengetahuinya. Sebelum adanya temuan Geertz tentang santri, abangan, dan priyayi, teori mengenai kelas di dalam ilmu sosial telah didominasi oleh pandangan-pandangan Kalr Marx.

Pandangan Marx merupakan bantahan atas pandangan Adam Smith. Smith memandang bahwa masyarakat terdiri dari dua kelas, yaitu kelas pengusaha besar dan kelas pengusaha kecil. Smith berpendapat bahwa yang menjadi pemain utama di dalam susunan ekonomi yang atomistik adalah pengusaha kecil. Tapi itu dibantah Marx. Bagi Marx, kelas masyarakat itu memang ada dua, tapi kelas borjuis dan kelas buruh.

Nah, dari situ timbul teori ketiga, yaitu teorinya Max Weber yang merupakan pelopor ilmu sosial modern waktu itu. Weber memiliki pendapat lagi bahwa masyarakat memiliki tiga kelas. Kalau Marx mengemukakan teori dualisme, maka Geertz—dengan mengikuti Weber—mengeluarkan teori baru berupa trikotomi abangan, santri, dan priyayi, terutama dalam masyarakat Jawa.

Wah, itu merupakan penemuan besar, karena Weber dalam kritiknya terhadap Marx, pun belum memberikan bukti berupa fakta sosiologis, sekalipun dia menganjurkan untuk tidak mengabaikan kelas menengah yang pada dasarnya terdiri dari kaum petani, pengusaha kecil, dan menengah. Kelemahan Weber, dia belum bisa memberikan fakta mengenai trikolomi itu.

Nah, Geertz berperan besar dalam mengisi teori itu. Dia kemudian mengarang buku yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan kelas menengah itu. Kebetulan, dia menemukan faktanya di Indonesia yang masyarakatnya beragama Islam. Sehingga, dia mengambil teorinya berdasarkan struktur masyarakat santri. Memang kategorisasinya tentang abangan, santri, dan priyayi itu agak menyimpang dan dikritik banyak orang. Tapi untuk peran menjelaskan dalam ilmu sosial, dia sangat-sangat jelas. Karena itu, popularitas teori Geertz ikut menggeser teori dikotomi menjadi trikotomi.

Nah, saat mengembangkan teori tentang masyarakat di LP3ES, kami masih terpaku dengan teori yang dikotomis seperti Smith dan Marx. Tapi dengan adanya Geertz kita mendapatkan landasan teori baru. Dari situlah kemudian dikembangkan teori mengenai usaha-usaha kecil dan menengah di Indonesia. Juga mengenai pertanian yang dikembangkan oleh Marhaenisme.

Geertz punya tesis tentang involusi pertanian. apa yang dia maksud involusi ?

Involusi pertanian itu singkatnya berisi fakta tentang pembagian kemiskinan (sharing poverty) di kalangan petani di Jawa karena beberapa faktor. Geertz melihat, yang terjadi dalam masyarakat petani Jawa selama dia meneliti bukanlah pemberdayaan ekonomi rakyat, tapi pembagian kemiskinan saja. Walau tesisnya itu tidak selamanya benar, namun atas dasar itulah kemudian dikembangkan teori mengenai pengembangan ekonomi kerakyatan. Pengembangan konsep ekonomi kerakyatan itu sebenarnya merupakan pengembangan teori kelas ketiga yang mula-mula diperkenalkan Geertz.

Mas Dawam, trikotomi Clifford Geertz tentang abangan, santri, dan priyayi itu sebetulnya fakta empiris yang hidup di masyarakat Jawa. Mengapa kita tidak sampai pada kesimpulan seperti Geertz dan justru dia yang mengembangkan teori itu?

Mungkin karena belum-belum kita sudah menolak eksistenti kaum abangan. Yang kita anggap ada hanya dikotomi antara kaum santri dan kaum kafir. Jadi unsur yang ketiga ini tidak terpikirkan oleh kita, sehingga dari kita tidak keluar satu teori pun yang mencerahkan. Tapi memang banyak orang yang mengritik kategorisasi Geertz tentang abangan, santri dan priyayi, karena mencampurkan dua kategori yang berbeda.

Teori itu memang sama-sama bentuk interpretasi terhadap kebudayaan. Yang dipakai orang seperti Max Weber ialah interpretasi sosiologis. Sementara Geertz menggunakan anthropological categoritation atau kategorisasi antropologis. Dalam perspektif Weberian, teori Geertz bisa saja dianggap salah. Tapi kalau dilihat dari perspektif Geertz sendiri, ya nggak salah. Dia tidak mungkin membuat teori tentang masyarakat Jawa kalau semata-mata beranjak dari keterangan Weber. Karena itu, dia memakai teori sendiri.

Bung Ihsan, bagaimana Anda berkenalan dengan gagasan-gagasan Geertz?

Ihsan: Saya pernah menyaksikan ceramahnya di suatu tempat di Amerika. Tapi karena dia dikerubungi orang banyak selesai berceramah, saya tidak sempat ngobrol langsung. Seperti halnya orang-orang Islam di Indonesia, saya mengenal Geertz lewat bukunya yang terkenal itu, seperti The Religion of Java, yang telah diterjemahkan Almarhum Aswab Mahasin dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.

Istilah santri dan abangan itu sebenarnya berasal dari kita juga, tapi lewat Geertz-lah ia jadi terkenal. Saya juga membaca karya dia yang juga penting dan diterjemahkan Gramedia dengan judul, Penjaja dan Raja (Paddlers and Princes). Kemudian ada juga karya lain Geertz yang sudah diterjemahkan, yaitu Islam yang Saya Amati (Islam Observed).

Kalau belajar ilmu sosial di Amerika, kita juga akan disuruh membaca kumpulan tulisan Geertz dari tahun 1960-an yang menjadi buku di tahun 1973, yaitu The Interpretation of Cultures. Buku itu dimulai dari satu esai yang menggunakan paradigma ilmu sosial interpretatif dan diakhiri dengan observasi lapangan yang dahsyat sekali mengenai sabung ayam di pulau Bali sebagai sebuah fenomena sosial.

Apa makna penting mempelajari karya-karya Geertz yang mengegunakan pendekatan antropologis dalam melihat agama bagi lulusan IAIN seperti Anda?

Terimakasih atas pertanyaan ini. Kalau kita belajar Islam secara normatif seperti yang pernah saya alami di IAIN (kini UIN, Red) Jakarta, yang kita temui adalah Islam itu satu belaka. Yang ditawarkan kepada kita adalah satu Islam sebagaimana yang termuat di dalam Alquran dan sebagainya. Yang kita pelajari terutama adalah doktrin-doktrin. Nah, yang diajarkan Geertz dan ilmu sosial umumnya adalah bagaimana Islam diejawantahkan di dalam kehidupan oleh orang Islam sendiri. Dan itu tidak mesti satu; pasti warna-warni.

Ada temuan yang menarik dari Geertz dalam The Religion of Java. Menurut dia, di Jawa itu ada jenis Islam yang dikenal dengan Islam abangan, dimana hanya lapisan atasnya saja yang Islam, sementara di lapisan bawahnya kejawen. Dia menggambarkan itu dengan ilustrasi gunung; puncaknya saja yang kelihatan Islam, tetapi isi di dalamnya kira-kira kejawen. Oleh beberapa antropolog yang lebih muda, seperti Marx Rudolf, tafsiran Geertz itu dibalik. Rudolf justru berpendapat beda dari Geertz. Menurutnya, sejawa-jawanya orang Jawa, isinya tetap Islam juga.

Dalam Islam Observed, Geertz mengamati perbedaan corak keislaman orang Indonesia dengan orang Maroko. Khusus di Jawa, corak Islam lebih sinkretis, lebih akulturatif. Sementara di Maroko, corak Islamnya lebih fundamentalistik. Namun dalam buku lain, After The Facts, dia mengamati pergeseran corak keislaman orang Indonesia yang ditengarai lebih puritanistik dari sebelumnya. Komentar Anda?

Islam Observed didasarkan pada penelitian Geertz di awal tahun 1950-an terhadap corak Islam di Jawa dan di Maroko. Di situ dia menemukan, dibanding Maroko, Islam Indonesia lebih bercampur dengan kebudayaan lain; lebih sinkretis. Temuan itu masuk akal. Ini di luar fakta bahwa ada juga corak Islam sufistik yang berkembang di Maroko. Dan itu juga sudah dia tulis dalam bentuk artikel di beberapa jurnal.

Tapi garis besarnya, pada saat itu Islam di Maroko memang tidak sesinkretik seperti di Indonesia. Dan itu bisa dimaklumi, karena ada banyak agama selain Islam yang datang lebih dulu di Indonesia dibanding Maroko. Sementara soal pergeseran itu, mungkin karena banyak pengaruh dana petrodolar yang masuk Maroko maupun ke Indonesia setelah tahun 1960-an.

Buku dia yang belakangan (After The Facts) adalah semacam otobiografi intelektual. Di situ dia bercerita tentang bagaimana dia berkembang sebagai seorang antropolog setelah 40 tahun bekerja di dua negara. Dalam buku itu, dia melihat bahwa belakangan tingkat puritanisme beragama di Indonesia makin tinggi dibanding tahun 1950-an. Ini menunjukkan dia tidak sedang berbicara tentang dua hal yang sama, tapi tentang dua hal yang berbeda, yaitu Islam Indonesia di awal tahun 1950-an dan yang dia saksikan belakangan ini.

Jadi sudah terjadi evolusi di dalam masyarakat Islam Indonesia. Temuan Geertz itu juga dibuktikan oleh beberapa penelitian lain, dan yang paling kita kenal adalah penelitian Saiful Mujani dan William Lidle tentang apa yang disebut islamisasi di dalam masyarakat Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Simbolisasi-simbolisasi agama, kini lebih kuat dibandingkan dulu.

Dulu, orang-orang Jawa atau Betawi biasa memakai kerudung model dicekik ke leher dan ditalikan ke belakang. Tapi sekarang beda. Dulu, kantor-kantor pemerintah belum pada punya tempat shalat Jum'at dsb., tapi kini beda. Saya ingat, dulu almarhum Cak Nur pernah cerita kalau di masa lalu, memanggil salat atau azan dengan speaker itu merupakan bentuk teror elektronik bagi sebagian orang-orang sekuler.

Belakangan, setelah revolusi Iran yang sering dinamakan era kebangkitan Islam, semua berubah kan?! Sekarang, kerudung ibu saya saja sudah seperti anak mahasiswi, karena bentuk kerudung lama dianggap tidak cukup menutup aurat dan kurang islami. Jadi ini dua hal yang sama tapi zamannya berbeda.

Bagi Geertz, agama itu punya fungsi ganda dalam masyarakat; penguat integrasi sekaligus pemicu konflik. Dari situ banyak orang mencurigai kalau trikotomi Geertz merupakan desain ilmiah untuk memecah-belah integrasi sosial masyarakat Jawa. Komentar Anda?

Mungkin kita perlu beranjak dari apa yang disebutkan Mas Dawam tadi; Geertz sendiri mengaku mengikuti warisan teoritik Max Weber. Jadi, dia seorang Weberian, tetapi yang pintar. Dia tidak Weberian sebenarnya, sebab kalau toh iya, kita harus menyebut dalam hal apa dan menafsirkanya. Nah, ketika dia menemukan dua atau tiga jenis artikulasi keagamaan yang berbeda dalam suatu masyarakat, dia ungkapkan itu apa adanya dalam kategori abangan, santri, dan priyayi; meski secara kelas mereka bisa dibelah menjadi dua, yaitu orang yang kaya dan rakyat biasa.

Tapi kelas itu tidak merefleksikan secara eksplesit ungkapan kultural yang sama. Orang-orang kaya dari kalangan aristokrat dan orang-orang miskin yang agak sinkretik, bisa punya ekpresi keagamaan yang sama. Saya tidak tahu apakah Geertz memandang agama sebagai faktor integrasi melulu atau sebagai faktor konflik tak berkesudahan. Saya kira, dua hal itu sama-sama dia lihat. Kadang-kadang dia melihat agama sebagai faktor integratif, kadang-kadang juga faktor konflik. Dia memang menyaksikan sendiri bagaimana peristiwa Pemilu 1955 di Indonesia membuat orang berbeda meskipun sama-sama Islamnya.

Mas Hamid, seberapa relevan tesis-tesis Geertz dalam The Religion of Java ataupun Islam Observed untuk melihat gejala masyarakat Islam Indonesia saat ini?

Saya kira, The Religion of Java lebih relavan. Sampai batas tertentu, pembelahan sosial yang dia tunjukkan masih terjadi secara faktual. Saya tidak heran, karena umurnya masih 50 tahun. Geertz meneliti Indonesia di awal 1950-an sampai 1957. Bukunya terbit di tahun 196o-an. Dilihat dari rentang itu, dan kalau diukur dari proses pengendapan keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, atau adat istiadat, sebagaimana dia catat sebetulnya, kan belum lama.

Budaya itu kan buah dari akumulasi pengalaman selama ratusan tahun. Tesisnya belum ratusan tahun, dan karena itu tidak mengherankan kalau masih relevan. Tentu saja sudah ada banyak pergeseran, terutama dalam ekspresi politik. Sebab, politik kadang juga merupakan suatu pandangan dunia yang diproyeksikan ke dalam pilihan-pilihan identitas. Misalnya, yang abangan pasti masih sungkan masuk PKS. Preferensinya mungkin ke PDI atau Partai Demokrat. Dan begitu juga yang lain. Orang-orang Islam santri, tentu enggan masuk PDI. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit ketimbang yang masuk ke partai-partai yang dianggap religius atau yang kurang bersifat abangan.

Menurut Anda, lapiran mana yang kini makin menebal: santri, abangan, atau priyayi?

Jelas yang pertama. Proses santrinisasi itu berjalan terus. Kita tahu bahwa kaum abangan itu jumlahnya makin kecil. Dalam 20 tahun terakhir, orang-orang abangan pun sudah pada naik haji dan umrah. Tahun 1990-an saja, Pak Harto yang abangan naik haji bersama 60-an anggota kelurga dan rombongannya. Pejabat tinggi kita pada masa Orde Baru, baik yang santri maupun abangan, berlomba-lomba naik haji, bahkan menjadi amirul haj. Jadi, proses santrinisasi itu berjalan terus, dan sampai sekarang hampir tidak ada lagi yang ngomong abangan atau aliran kepercayaan. Di tahun 1978, isu itu masih merupakan isu besar. Sekarang makin nggak ada.

Apa implikasi pergeseran lapisan sosial-budaya itu terhadap tatanan sosial kemasyarakat kita dewasa ini?

Itu yang saya belum tahu. Yang penting kita ingat: sebetulnya proses yang saya ceritakan itu merupakan proses yang alami. Nggak ada paksaan, tidak ada SK-nya. Yang terjadi adalah, generasi anaknya kaum abangan sudah terekspos pada kegiatan-kegiatan kaum santri. Itu alamiah belaka. Yang terpenting dibahas kalau proses santrinisasi itu berjalan terus adalah: pola keislaman seperti apa yang mereka tawarkan atau anut?

Nah, kalau itu yang kita lihat secara kasar, sebetulnya tidak ada berita yang terlalu menggembirakan. Proses formalisasi agama kaum santri terjadi, tapi tidak ada ide-ide segar yang dibawa bersamanya. Jadi, proses santrinisasi yang dimaksud lebih kepada bentuk formalismenya. Misalnya, kaum abangan yang tadinya tidak salat, kini jadi rajin salat. Yang tadinya nggak puasa, kini sabar berpuasa. Baru sebatas itu.

Apakah tidak terjadi juga arus revitalisasi ide dan praktik kaum abangan untuk mencari keseimbangan di kala menguatnya arus santrinisasi yang makin puritanistik dan simbolistik?

Saya kira itu gejala yang normal. Dimana-mana begitu. Kalau orang merasa terdesak, kecenderung bertahannya akan meningkat atau menggandakan upaya bertahan. Nanti sejarahlah yang akan melihat apakah ikhtiar mereka gagal atau berhasil. Namun sekarang, kaum abangan tampaknya sudah gagal dalam ikhtiar-ikhtiar mereka. Saya kira, fakta itu sudah cukup jelas. Karena itu, orang Islam tidak perlu banyak-banyak mengeluh soal Kristenisasi atau abanganisasi. Justru yang terjadi saat ini adalah proses santrinisasi yang luar biasa dahsyatnya.

Anda dapat melihat indikatornya di tempat-tempat seperti kantor, hotel, bank, dan instansi-instansi pemerintah. 15 tahun yang lalu, tak terbayangkan tempat-tempat itu akan digunakan untuk salat Jum'at atau terawih berjamaah. Rumah-rumah elit di Menteng yang abangan Jawa dan TNI, sekarang juga suka mengadakan acara-acara

Tidak ada komentar: